Chapter 5

79 38 16
                                    

Budayakan vote, comment, add to library and share
Happy reading all🧚

Aku memicingkan mataku. "Tumben nanya, kek peduli banget sama gue."

"Gue peduli banget ya njir. Cuma lo aja yang ga sadar diri." Cerocosnya.

"Ga kebalik?"

"Ya ya ya, back to the question, Ra." Finalnya.

Begini nih nasibnya kalau punya bestie yang sukanya nyerocos, bakalan jadi panjang obrolannya.

"Lo sih, gue baru tidur 3 jam udah dibangunin aja. Jadi gue masih ngantuk, kurang tidur."

"Ngapain juga semaleman ga tidur? Gue sih lebih milih tidur dibanding nangisin cowok bajigur kek Nolan." Jawabnya dengan santai.

"Gue kedapatan jadwal jaga IGD shift malem, Va."

Aku terbahak. "Anyway gue ga yakin sih lo ga nangisin Nolan. Secara kan sobat gue ini bucin tingkat dewa."

"Ga mungkin gue nangisin tuh bajigur. Serius ini, Ra. Gue putus bukannya nangis, malah ngerasa ilfeel gitu. Engga banget deh." Ucapnya dengan ekspresi jijik.

"Baguslah, lo dikasih tau ketika belum melangkah ke jenjang yang lebih jauh. Jadi lo bisa lebih waspada lagi kedepannya. Kalo ketauannya pas kalian udah nikah malah bahaya."

"Nah itu untungnya, gue sedikit bersyukur. Setidaknya si bajigur itu ngasih gue pelajaran juga dengan adanya kejadian ini." Vania tersenyum.

Nah, jadi pelajaran buat kita ya, teman-teman semua. Kalaupun pada akhirnya bukan jodohnya seperti Vania dan Nolan, ikhlaskan dan jadikan pelajaran. Berarti dia bukan yang terbaik untukmu. Tuhan sudah siapkan yang jauh lebih baik untuk jadi teman seumur hidupmu.

Karena pernikahan bukan hanya tentang menyatunya hubungan sepasang laki-laki dan perempuan. Makna sebuah pernikahan jauh lebih luas daripada itu.

"Ortu lo udah tau kalo lo putus sama Nolan?" Tanyaku.

"Jelas udah. Ketika sampe rumah gue langsung cerita sama bokap dan nyokap. Lo tau reaksi mereka gimana?"

"Ya mana gue tau njir. Emang gue cenayang bisa tau apa isi pikiran lo sekarang? Ngadi-ngadi aja." Jawabku.

"Bokap bilang kalo dia udah cari tau latar belakang Nolan sampe ke akar-akarnya. Seluk beluknya beneran ditelusuri, sampe bokap nyewa informan cuma buat telusurin si bajigur itu. Dari informasi yang bokap dapet, Nolan udah selingkuh sama cewek itu selama 9 bulan terakhir. Persis setelah dia dapet promosi kenaikan jabatan di kantornya." Jelasnya.

"Emang jabatan bisa bikin orang merasa superior, jadi merasa ga puas juga dengan apa yang udah dia punya." Ucapku dengan santai.

"Nah itu. Bokap sampe geleng-geleng sendiri baca profil tuh anak."

"Kalo nyokap lo gimana responnya?"

"Nyokap ya, dia ketawain gue. Juga ga nyangka ternyata Nolan begitu. Nyokap nilai kalo Nolan itu anaknya baik dan pantas jadi mantunya, eh ternyata ga lebih dari sampah masyarakat yang harusnya di daur ulang." Seketika kami terbahak bersama.

"Dan apa kabarnya sama calon yang disiapin bokap lo yang waktu itu?" Tanyaku penasaran.

"Ternyata bokap juga sewa informan buat dapetin profil lengkap cowok itu. Dari track recordnya sih bagus, mulus, bokap bilang cocok sama gue yang harus dapet pasangan orang bener. Soalnya kata bokap kalo gue dapet pasangan yang sama sintingnya nanti gue ikut menjadi-jadi."

Pelajaran part 2 nih, teman-teman. Pastikan kalau kita harus tau latar belakangnya si calon teman hidup. Daripada nanti gagal ditengah jalan dan menyesal seumur hidup.

"Bener sih, gue kasian sama anak lo nanti kalo bokap dan nyokapnya sinting semua."

"Eh si kutu kupret." Ucapnya sembari melempar bantal ke wajahku.

"Ya kan gue cuma membenarkan apa yang bokap lo bilang, Va."

"Ish, tapi ga gitu juga."

"Oh iya, Ra. Lo ga ada kepikiran gitu buat cari cowok? Atau bahkan lo ga jadi buronan di mata keluarga lo sendiri? Secara gue tau keluarga lo jauh beda sama keluarga gue, lebih enak aja gitu " Tanya Vania penasaran.

"Palak bapak kau."

"Hah, lo ngomong apaan sih, Ra?"

"Oh itu artinya kepala bokap lo gitu, dari bahasa Palembang. Gue masih inget dulu pernah diajarin temen sekelompok waktu koas. Dia memang asli orang Palembang." Jelasku.

"Jadi gitu ya. Back to the question, again."

"Gue tadi ditelpon sama nyokap, katanya tahun baruan disuruh balik ke Tangerang. Tapi nyokap bilang gue harus bawa gandengan, dia mau kenalan sama calon mantu dari anak bungsunya ini. Kalo dari Kak Nala kan udah, 3 tahun yang lalu."

"Terus-terus gimana ceritanya?"

Aku tersenyum. "Cuma nyokap aja sih yang maksa gue buat cepet-cepet kasih hilal pertanda kalo mau segera nikah. Kalo bokap, dia mendukung gue buat eksplor masa muda dulu. Gue setuju sih sama bokap."

"Eksplor masa muda ya? Gue selalu bertanya-tanya sama lo, Ra. Lo pernah merasa suka sama seseorang ga sih?"

"Kalau sekedar suka doang pernah, selebihnya ga ada." Jawabku.

"Berarti lo masih normal ya. Gue kira agak belok dikit haha."

"Kalo gue belok udah gue tembak lo buat jadi pacar gue. Apa ga langsung merinding kalo gue begitu ke lo?"

"Iya sih, gue bersyukur aja gitu pas tau ternyata lo masih normal. Mematahkan semua pikiran negatif yang tumbuh di otak gue yang kapasitasnya mini." Jawab Vania, sedikit ngawur.

"Gue kira malah lo beneran ga punya otak, ternyata masih ada walau katamu kapasitas mini."

"Eh asu ini." Lagi, dia melempar bantal ke wajahku.

"Oh iya, Ra. Menurut lo sendiri, apa standar yang mau lo capai ketika ngomongin tentang kesiapan menuju sebuah pernikahan."

Sepertinya Vania benar-benar mau membuktikan bahwa dia masih punya otak, walaupun dengan kapasitas yang terbatas. Tumben sekali dia memulai diskusi dengan topik yang sangat serius.

"Kalo gue mau stabil secara ekonomi dulu sebelum nikah. Minimal gue punya penghasilan mandiri, jadi ga begitu tergantung sama suami gue." Jawabku

"Yang itu malah udah tercapai. Terus apalagi?"

"Gue harus stabil secara emosional juga. Karena nantinya kehidupan gue setelah menikah bakal jadi seorang istri dan nantinya seorang ibu. Otomatis stabil secara emosional wajib hukumnya. Nah untuk poin ini gue masih merasa jauh banget dari kata tercapai."

"Bagus, gue setuju sama dua prinsip utama lo, Ra." Dia mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kalo kata gue, sebelum kita mulai membangun keluarga, pastikan kalo kita mampu. Bukan cepet-cepetan nikah karena paksaan keluarga." Di catat ya teman-teman, ini pelajaran part 3!

"Udah jam 11 aja nih. Gue pulang dulu ya. Banyak hal yang mesti diurusin, apalagi sekarang waktunya pengisian nilai."

"Ah, Bu guru Vania sibuk banget sih." Godaku.

Vania berdiri dari duduknya. "Udah ah, gue mau pulang dulu. Thanks buat hari ini, kapan-kapan gue mampir lagi."

"Buat ganggu tidur gue gitu?" Tanyaku dengan wajah sinis.

"Of course baby." Ucapnya sambil melenggang santai menuju pintu rumah.

Aku mengantar Vania sampai ke teras. Sesekali melambaikan tangan padanya yang sudah mulai memutar mobilnya, ingin segera pulang ke habitatnya.

Aku membalikkan badan, bermaksud untuk masuk ke dalam rumah . Pandanganku terkunci tatkala ada sebuah kotak bingkisan yang entah siapa pengirimnya berada di teras dekat rak bungaku. Kalau dari Vania takkan mungkin diletakkan disini, paling hanya langsung dilempar ke kamarku.

"Halo Nara. Semoga kamu suka dengan bingkisannya."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dokter CintaWhere stories live. Discover now