02

911 60 0
                                    

[Revisi]

Happy Reading!

---


"Bagus sekali, kamu bahkan tidak hadir di acara pernikahanku dan tiba-tiba mengatakan ingin menemuiku di sini."

Seorang pria omega yang terlihat cantik itu mengerutkan wajahnya menatap penuh ketidakpuasan kepada sosok pria alpha di depannya.

Asael bersidakap dada dengan ekspresi cemberut lalu berkata, "Aku kecewa kepadamu, Zayden"

Zayden menghela nafas pelan. Dia mengabaikan gerutuan Asael dan lebih memilih pertanyaan lain untuk mengalihkan pembicaraan.

"Aku sudah mengirimkan hadiahku, apa kamu menyukainya? Aku memilih hadiah itu sesuai dengan keinginanmu."

"Aku tidak perduli kepada hadiah itu," tukas Asael tajam. "Dengar, yang aku inginkan adalah kamu datang ke pernikahanku dan memberiku selamat secara langsung."

"Itu akan menyakitiku, tidakkah kamu mengerti itu?" tanya Zayden lirih.

"Huh, siapa perduli?" Asael berdecih penuh ejekan. "Kamu sendiri yang menolakku lantas mengapa kamu bersikap seolah kamu sangat tersakiti?"

Bahu Zayden agak merosot lesu. "Asael, aku tidak pernah menolakmu."

"Benarkah?"

"..."

Asael tertawa sinis. "Jika kamu tidak menolakku mungkin saja kita telah bersatu dalam ikatan yang selama ini kita impikan," tuturnya dengan nada bicara yang agak menurun.

Ekspresi sinis yang sebelumnya terpasang rapi pada wajah Asael telah terhapus oleh ekspresi kesedihan yang terlihat begitu ketara.

"Siapa yang menyakiti siapa disini," ucap Asael menunduk dan meraup wajahnya dengan telapak tangannya. "Semua ini hanya karena ibumu tidak menyukaiku."

"Maafkan aku."

Asael mengangkat wajahnya. Bola matanya yang jernih terlihat berkaca-kaca ketika dia menatap Zayden yang duduk berseberangan dengannya hanya berbatas meja.

"Ha..." Asael akhirnya menghela nafas panjang. "Seharusnya aku lah yang meminta maaf," tuturnya kemudian.

"Aku telah menyakiti ibumu, karena pertemuanku dengannya tadi pagi menyulut sedikit emosinya, kesehatannya menjadi sedikit drop."

Zayden menggeleng untuk menyanggah. "Itu bukan salahmu, aku yakin ibuku lah yang memulai masalah terlebih dahulu."

Asael tidak menjawab dan hanya diam dengan ekspresi wajah sendu.

Pada detik berikutnya, kedua manusia berbeda sub gender itu saling diam. Mereka sama-sama menunduk menatap makanan yang telah masing-masing mereka pesan di cafetaria ini.

"Um, Asa."

Asael mendongak menatap Zayden. "Ada apa?"

"Apa kamu bahagia dengan pernikahan itu?"

Asael menarik sedikit sudut bibirnya untuk mengulas senyuman tipis. "Apa maksudmu jika aku menjawab tidak bahagia kamu akan membawaku kabur?"

"Bukan seperti itu, maksudku... Um, itu..." Zayden tampak kesulitan untuk berkata-kata. Dan Asael yang memang hanya bercanda ketika melontarkan kalimat tersebut pun segera tertawa untuk mencairkan suasana beku di antara mereka.

"Aku hanya bercanda, tidak perlu seserius itu." Asael melambaikan tangannya dengan santai. Dia tersenyum lagi ketika melihat bagaimana Zayden menghela nafas seolah dia sedang merasa lega.

"Zayden, kamu tahu kenyataan bahwa aku masih menyimpan perasaan kepadamu." Asael terkekeh miris. "Aku menikahi suamiku yang sekarang bukan karena aku mencintainya, tapi karena dia mencintaiku dengan tulus."

Zayden merasa hatinya teriris mendengar hal itu dan menjadi kesulitan untuk berkata-kata.

"Zayden, jika kamu berpikir bahwa aku menikahi suamiku karena merasa kasihan kamu salah." Asael memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali untuk menatap Zayden dengan tatapan lembut. "Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk balas mencintainya dan meraih kebahagiaanku sendiri bersamanya."

"Benarkah?"

Asael mengangguk mengiyakan. "Kisah tentang aku dan kamu sudah berakhir dan akan aku ganti dengan kisah tentang aku dan dia, maafkan aku."

Zayden menggeleng dengan segurat senyum. "Tidak, itu tidak masalah. Karena aku pikir, hanya dengan kamu berbahagia itu sudah cukup untukku."

Asael balas terkekeh lagi. "Baiklah, dan untuk dirimu sendiri juga jangan lupa untuk berbahagia, meskipun itu harus tanpa diriku."

"Baiklah." Zayden tersenyum semakin lebar. "Namun, bisakah kita tetap berteman baik?"

"Tentu saja," jawab Asael dengan ringan. "Kita adalah teman baik sekarang ataupun nanti."

"Terimakasih."

Pada saat itu akhirnya Zayden dapat mengakhiri semuanya. Pada akhirnya kegelisahannya terhadap Asael telah sirna.

Zayden akan merelakan dan bersiap untuk pergi ke lembaran baru tanpa orang yang dia cintai itu. Meski rasanya sakit, dia akan tetap berusaha melangkah ke depan.

Dia masih bisa menahan semua ini. Ya, tidak apa-apa. Pikir Zayden dengan mudahnya.

Saat itu Zayden tidak tahu masa depan apa yang telah menantinya.

---
Tbc

Crazy Accident [ABO]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt