Bagian 19

1K 58 1
                                    

Vote dulu sebelum membaca!



Happy reading





Sudah hampir tengah malam Arthur dan Kalisa masih mencari Ceseli. Mereka hampir menelusuri seluruh hutan, tapi belum menemukan tanda-tanda keberadaan Ceseli.

Arthur turun dari kudanya, mencari tempat untuk beristirahat, diikuti Kalisa. Kemudian Arthur menyalakan api untuk menghangatkan mereka, karna cuaca di hutan saat malam memanglah dingin.

"Ini salahku ayah! Harusnya aku menjaga Cese" kata Kalisa.

Arthur menggeleng "bukan salah siapa-siapa! Kalau adikmu memang tidak ingin kembali, maka itulah keputusannya" kata Arthur, menghembuskan napasnya pelan.

"Cese... Sebenarnya kau ada dimana?" tanya Kalisa entah pada siapa. Matanya menatap langit malam yang gelap.

Arthur meremat bajunya erat. Hatinya sedang gelisah. Tapi ia menyembunyikannya dari Kalisa, karna tidak mau Putri sulungnya itu terlalu khawatir. Apalagi sebentar lagi Kalisa akan naik tahta menggantikannya.

"Aku sebenarnya menyesal yah! Kenapa dari kecil, aku tidak dekat dengan Cese. Padahal aku seorang kakak" kata Kalisa, membuat Arthur makin gelisah, ditambah rasa bersalahnya pada Ceseli karna selama ini ia menelantarkannya.

"Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku pasti akan menyayangi Case sejak ia lahir kedunia ini" kata Kalisa lagi, dengan wajah lesunya.

Sementara di istana, Arsen sedang dikuasai emosinya sendiri. Laki-laki itu memukul-mukul tembok kamarnya sampai membuat tangannya memerah. Matanya melotot tajam. Rahangnya mengeras.

"KENAPA! KENAPA TAKDIR GUE MESTI KAYAK GINI! KENAPA!"

Arsen berteriak marah, menyalahkan dirinya sendiri.

Maikel dan Emely berlari tergesa-gesa menghampiri Arsen. Mereka khawatir Arsen akan berbuat nekat.

"Kakak! Apa yang kau lakukan?" pekik Maikel laget saat melihat tangan Arsen yang mulai mengeluarkan darah.

"Ambilkan obat!" perintah Maikel pada Emely, kemudian Emely pergi mengambil obat untuk Arsen.

"Kenapa? Kenapa kayak gini..." lirih Arsen, ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. "Harusnya nggak kayak gini"

Maikel metaih tangan Arsen, saat Emely sudah datang membawa obat. Kemudian ia mengobati tangan kakaknya dengan pelan. Arsen hanya diam, menundukkan kepalanya.

"Aku tidak tau apa yang terjadi antara kalian. Tapi kakak tidak boleh menyalahkan dirimu seperti ini" kata Maikel.

Arsen mendongak "ini salahku! Ini memang salahku!"

Maikel menggeleng "kakak jangan menyakiti diri kakak!"

"Aku harus gimana? Istriku telah pergi dariku..."

Maikel menghembuskan napasnya kasar. Ia tidak bisa membiarkan kakaknya menjadi seperti ini.

"Kakak! Kakak adalah calon kaisar. Kakak tidak boleh seperti ini! Apalagi sekarang ada Alice disini. Perempuan itu licik kak! Kau harus menyingkirkannya! Jangan sampai kau lupa dengan semua rencanamu!" kata Maikel.

Maikel memang sudah tau rencana Arsen untuk menyingkirkan Alice.

Arsen menatap Maikel lagi. Kesadarannya mulai kembali. "Kau benar. Jangan sampai aku melukapakan rencanaku" katanya, kemudian menepuk pundak Maikel. "Kau sudah dewasa sekarang"

Maikel berdiri diikuti Arsen. "Aku memang sudah dewasa kak!" balas Maikel.

Arsen mengangguk. "Baiklah! Sekarang, kita lanjutkan rencana kita"



Transmigrasi CassaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang