3. Cakar Monyet / The Monkey's Paw (Bagian 3)

24 5 2
                                    

Penulis: W. W. Jacobs (1902)
Diterjemahkan oleh: A-Sanusi

Di pemakaman baru yang besar, sekitar dua mil dari sana, kedua orang tua itu mengubur anaknya yang telah mati, dan kembali ke rumah, tenggelam dalam bayang-bayang dan sepi. Semuanya berakhir begitu cepat sampai-sampai pada awalnya mereka tidak menyadari hal itu, dan tetap berharap sesuatu yang lain akan terjadi—sesuatu yang dapat meringankan beban ini, beban yang terlalu berat untuk ditanggung hati yang sudah tua.

Namun, hari-hari telah berlalu dan harapan tersebut hampir sirna—keputusasaan orang tua yang kadang disangka sabagai apatis. Terkadang mereka tak pernah berbincang. Sekarang tak ada lagi yang dapat mereka bicarakan, dan hari-hari mereka begitu panjang dan melelahkan.

Sudah sekitar seminggu lamanya semenjak si lelaki tua tiba-tiba berjalan di malam hari, meregangkan kedua tangannya dan sadar akan kesendiriannya. Ruangannya gelap, dan isak tangis terdengar dari arah jendela. Lelaki itu bangkit dari tempat tidurnya dan mendengarkan.

"Kembalilah," panggil lelaki itu dengan lembut. "Kau akan kedinginan."

"Anakku lebih kedinginan," kata wanita tua itu, lalu menangis kembali.

Isak tangis sang istri perlahan lenyap di telinga lelaki itu. Tempat tidurnya hangat, dan mata lelaki itu berat karena kantuk. Ia tidur sebentar-sebentar, dan kemudian tertidur lelap sampai tangis teriakan istrinya yang keras membangunkannya.

"CAKAR ITU!" seru sang wanita. "CAKAR MONYET ITU!"

Suaminya mulai cemas. "Di mana? Di mana benda itu? Ada apa?"

Sang wanita mendekati suaminya dengan terhuyung-huyung. "Aku menginginkannya," katanya, perlahan. "Kau belum menghancurkannya, kan?"

"Ada di ruang tamu, di atas keranjang," Lelaki itu menjawab dengan heran. "Kenapa?"

Wanita itu menangis dan berteriak secara bersamaan, kemudian membungkuk, mencium pipi suaminya.

"Aku baru saja memikirkannya," ucap wanita itu dengan histeris. "Kenapa aku tak memikirkan hal itu sebelumnya? Kenapa kau tak memikirkan hal itu sebelumnya?"

"Memikirkan apa?" Lelaki itu bertanya.

"Dua permintaan lain," balas wanita itu dengan cepat. "Kita baru meminta satu permintaan."

"Tidakkah cukup?" Lelaki itu gusar.

"Tidak," seru wanita itu, penuh dengan kemenangan. "Kita akan meminta satu lagi. Cepatlah turun dan ambil cakar itu, dan mintalah agar anak kita hidup kembali."

Si lelaki duduk di tempat tidur dan melemparkan selimut dari tubuhnya yang gemetar. "Astaga. Kau sudah gila!" serunya, terkejut. "Ambillah," pinta wanita itu; "cepat ambil dan berharap – Oh anakku, anakku!"

Sang suami menggesek korek api dan menyalakan lilin. "Kembali ke tempat tidur," katanya dengan gemetar. "Kau tidak tahu apa yang kau katakan."

"Permintaan pertama kita dikabulkan," kata wanita itu, terburu-buru; "kenapa tidak dengan yang kedua?"

"Sebuah kebetulan," gagap lelaki itu.

"Ambillah dan buat permintaan," teriak wanita itu, penuh kegirangan.

Lelaki tua itu berbalik, memandang istrinya, dan berbicara gemetaran. "Dia sudah meninggal selama sepuluh hari, dan selain itu ---Aku tidak ingin menceritakannya, tetapi—Aku bahkan hanya bisa mengenali pakaiannya. Jika jasad anak kita sangat berantakan untuk kau lihat, apalagi sekarang, kan?"

"Hidupkan dia kembali," teriak si wanita tua, kemudian menarik suaminya ke arah pintu. "Kau pikir aku takut melihat anak yang kubesarkan dari kecil?"

Lelaki itu turun di tengah kegelapan, dan dia mendapati arah menuju ruang tamunya, kemudian menuju perapian. Jimat itu ada di sana, dan ketakutan mengerikan akan permintaan yang belum diucapkan mungkin saja menghidupkan kembali anaknya yang telah termutilasi sebelum ia dapat kabur dari ruangan yang mengurung dirinya. Napasnya berderu ketika ia kehilangan arah menuju pintu. Keningnya berkeringat dingin. Ia menemukan jalan di sekitar meja dan meraba-raba dinding sampai ia menemukan jalan kecil dengan benda maut di tangannya.

Bahkan wajah istrinya tampak berubah saat lelaki itu masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat penuh ekspetasi, dan rasa takut suaminya menanggap sang istri memiliki tatapan tak wajar. Lelaki itu takut pada istrinya.

"BUAT PERMINTAAN!" teriak wanita itu dengan kencang.

"Ini tindakan bodoh dan salah," desis lelaki itu.

"BUAT PERMINTAAN!" ulang sang istri.

Lelaki itu mengangkat lengannya. "Aku harap anakku hidup kembali."

Jimat itu jatuh ke lantai, dan lelaki itu memandangnya dengan penuh ketakutan. Kemudian, tubuhnya terperosok jatuh ke atas kursi sementara si wanita tua, dengan mata membara, berjalan menuju jendela dan mengangkat tirai.

Lelaki itu duduk sampai ia merasa kedinginan, sesekali melirik sosok istrinya yang sedang mengintip dari balik cendela. Sisa lilin, yang telah terbakar di bawah pinggiran tempat lilin dari Cina, menghasilkan bayangan yang berdenyut di langit-langit dan dinding, sampai berkedip lebih kencang dari sebelumnya, kemudian mati. Si lelaki tua, dengan perasaan lega atas kegagalan jimat itu, merangkak kembalil ke tempat tidur, dan satu menit setelahnya, wanita tua itu berjalan ke sebelahnya dengan termenung dan tak semangat.

Tak ada yang berbicara, hanya duduk dalam keheningan sembari mendengarkan jam yang berdetak. Tangga berderit dan seekor tikus bercicit melintasi dinding. Kegelapan itu amat mencekam, dan setelah berbaring selama beberapa waktu untuk mengumpulkan keberanian, lelaki itu mengambil sebatang korek api dari tempatnya, kemudian menyalakan salah satu korek api, dan turun ke bawah untuk mengambil lilin.

Pada anak tangga terakhir, korek apinya mati, dan lelaki itu berhenti sesaat untuk menyalakan korek api yang lain; dan di saat yang bersamaan, kekutan pelan hingga hampir tak terdengar, timbul dari balik pintu depan.

Korek api itu jatuh dari tangannya dan bercecer di lantai. Ia mematung, napasnya terhenti sampai ketukan itu terdengar kembali. Kemudian, ia berbalik dan melarikan diri dengan cepat kembali ke ruangannya dan mengunci pintunya. Ketukan ketiga terdengar ke seluruh penjuru rumah.

"APA ITU?" teriak sang wanita tua, terkejut.

"Seekor tikus," kata si lelaki tua dengan nada suara bergemetar—"seekor tikus. Tikusnya melewatiku di tangga."

Istrinya duduk di tempat tidur dan mendengarkan. Ketukan kencang terdengar kembali di seluruh penjuru rumah.

"Itu Herbert!"

Wanita itu berlari menuju pintu, tetapi suaminya berhasil menangkapnya, meraih lengan wanita itu, dan menahannya dengan kencang.

"Apa yang akan kau lakukan?" bisik lelaki itu dengan suara serak.

"Itu anakku; itu Herbert!" Wanita itu berteriak, berusaha melepaskan diri. "Aku lupa jaraknya dua mil. Kenapa kau menahanku? Lepaskan aku. Aku harus membuka pintunya."

"Ya Tuhan, jangan biarkan dia masuk," teriak lelaki itu sembari gemetaran.

"Kau takut dengan anakmu sendiri," balas wanita itu, sambil tetap berusaha melepaskan tangannya. "Lepaskan aku. Aku datang, Herbert; Aku datang."

Ketukan lain kembali terdengar, dan yang lainnya. Wanita tua itu tiba-tiba memilin genggaman suaminya dan berhasil melepaskan diri, kemudian keluar ruangan. Suaminya mengejar sampai ke tangga, kemudian memanggilnya ketika wanita itu menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Ia mendengar rantai pengunci slot pintunya yang ditarik perlahan dari tempatnya. Kemudian, terdengar suara wanita itu, tegang dan terengah-engah.

"Slot pintunya," teriak wanita itu dengan kencang. "Turunlah. Aku tak dapat menggapainya."

Namun, suaminya sedang berlutut dan mencari cakar monyet dengan kedua tangannya secara terburu-buru. Andai saja dia bisa menemukannya sebelum sesuatu itu masuk ke dalam rumahnya. Serangkaian ketukan bergema sempurna memenuhi seluruh penjuru rumah, dan lelaki itu mendengar decitan kursi yang digeser ketika istrinya menyimpan kursi itu di depan pintu. Lelaki itu kembali mendengarkan slot yang perlahan dibuka, ketika di saat yang bersamaan ia menemukan cakar monyetnya, dan dengan frustasi mengucapkan permintaan ketiganya, sekaligus permintaan terakhirnya.

Ketukan itu tiba-tiba berhenti, meskipun gemanya masih ada di dalam rumah. Ia mendengar suara kursi yang ditarik kembali ke belakang serta suara pintu yang terbuka. Angin dingin meluncur masuk menyusuri tangga, dan raung panjang kekecewaan serta kesakitan istrinya memberinya keberanian untuk berlari ke sisi istrinya, juga sampai ke gerbang depan. Lampu jalan berkedip di seberang, menerangi jalanan yang sepi dan terlantar.

(Selesai)

Kumpulan Cerpen TerjemahanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora