1. Cakar Monyet / The Monkey's Paw (Bagian 1)

94 11 0
                                    

Penulis: W. W. Jacobs (1902)
Diterjemahkan oleh: A-Sanusi

Tanpa ada apa pun, malam itu terasa dingin dan basah. Namun, di dalam ruang tamu kecil Vila Laburnam, tirai telah ditutup dan perapian menyala dengan terang. Sang ayah dan anak tengah bermain catur. Pemain sebelumnya, yang tadinya memiliki gagasan untuk mengubah kondisi permainan secara drastis, meletakkan raja pada posisi berbahaya sampai mengundang komentar wanita berambut putih yang tengah merajut dengan tenang di samping perapian.

"Perhatikan anginnya," kata Tuan White yang terlambat melihat kesalahan fatal itu, mencegah anaknya melihat kesalahan itu secara luwes.

"Aku mendengarkannya," kata pemain setelahnya, mengeksplorasi papan dengan serius sambil mengulurkan tangannya. "Skak."

"Seharusnya aku tak banyak berpikir mengenai kedatangannya malam ini," ucap sang Ayah, dengan lengan bersiap di atas papan.

"Mat," balas sang Anak.

"Itulah hal terburuk dari hidup di tempat terpencil," pekik Tuan White secara tiba-tiba dan tak terduga; "Dari semua tempat yang menjijikkan, becek, dan terpencil untuk dihuni, inilah yang terburuk. Jalannya seperti rawa dan jalan raya seperti sungai beraliran deras. Aku tak tahu apa yang orang-orang pikirkan. Aku rasa karena hanya tinggal dua rumah yang ada di jalan ini, mereka pikir itu tidak penting."

"Jangan khawatir, sayang," ucap sang Istri dengan tenang; "mungkin di kesempatan berikutnya kau akan menang."

Tuan White mendongak tajam, tepat di saat mencegat pandangan pengertian antara ibu dan anak. Kata-kata itu berhenti di bibirnya, dan ia menyembunyikan senyum bersalah di balik janggut abu-abu tipisnya.

"Itu dia," kata Herbert White, ketika gerbang berdentum keras dan langkah berat datang mendekati pintu.

Lelaki tua itu bangkit dengan tergesa-gesa sembari berupaya tetap terlihat ramah, dan membuka pintu, lalu terdengar menyabut tamunya yang baru datang. Sang tamu baru itu turut menyambut dirinya, sehingga Nyonya White berkata, "Tut, tut!" dan batuk perlahan sementara suaminya memasuki ruangan, diikuti oleh lelaki tinggi, berotot, dengan mata tajam dan wajah merah padam.

"Sersan Mayor Morris," kata tamu itu, memperkenalkan dirinya.

Sang Sersan Mayor berjabat tangan, dan mengambil tempat duduk yang telah disodorkan di samping perapian, melihat dengan puas ketika sang tuan rumah mengambil wiski dan gelas, kemudian meletakkan teko tembaga kecil di atas api.

Pada gelas ketiga, matanya menjadi lebih cerah, dan ia mulai berbicara. Keluarga kecil itu duduk melingkar dengan rasa antusias, pada sang tamu dari tempat yang jauh itu, ketika sang tamu mengatur bahu lebarnya di kursi dan berbicara mengenai kejadian luar biasa dan tindakan penuh keberanian ; tentang perang, wabah, dan orang-orang asing.

"Sudah dua puluh satu tahun," kata Tuan White, mengangguk pada istri dan anaknya. "Ketika dia pergi, dia hanyalah pemuda dari desa. Sekarang lihatlah dia."

"Dia tidak terlihat seperti orang yang terlibat dalam banyak bahaya," ucap Nyonya White dengan ramah.

"Aku juga ingin pergi ke India," kata si lelaki tua, "hanya untuk bertualang sebentar, kau tahu."

"Di sini jauh lebih baik," kata sang sersan mayor, menggelengkan kepalanya. Ia menaruh gelas kosongnya dan menghela napas dengan lembut, kemudian menggelengkan kepalanya lagi.

"Aku ingin melihat kuil-kuil kuno itu, dan para Fakir, dan para akrobat," ucap si lelaki tua. "Bagaimana dengan cerita mengenai cakar monyet atau sesuatu mengenai itu yang dulu pernah kau ceritakan padaku, Morris?"

"Bukan apa-apa," kata prajurit itu dengan terburu-buru. "Paling tidak, tidak layak untuk didengarkan."

"Cakar monyet?" tanya Nyonya White, penasaran.

Kumpulan Cerpen TerjemahanWhere stories live. Discover now