Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut

Mulai dari awal
                                    

Arah pandang Biru lalu tertuju pada barisan anak-anak sekolah yang menunggu lampu penyebrangan jalan berganti. Biru tersenyum miris. Mengingat dirinya yang tidak akan lagi memakai seragam sekolah. Mengingat mimpinya yang harus patah bahkan sebelum Biru sempat berangan-angan.

"Lo ... beneran udah nggak mau lanjutin sekolah lo?"

Tanya itu Nathan suarakan dengan nada yang lebih rendah serta raut wajah yang tidak lagi terlihat jenaka. Pemuda itu ikut mengamati bagaimana anak-anak sekolah mulai menyebrang saat lampu pejalan kaki sudah berganti warna.

"Maksud gue. Yah, Gue sama anak-anak lain kan emang besar dijalanan. Nggak pernah duduk dibangku sekolah. Kalo lo 'kan, beda." Nathan berujar dengan hati-hati.

"Nggak tau, bang. Aku takut berharap terlalu tinggi. Aku udah sering dikecewain sama orang-orang di sekitarku," ucap Biru dengan pandangan menerawang kedepan. Meski binar dari sebalik manik cokelat madunya telah kembali berpendar, ada kosong yang terlihat dari bagaimana Biru menatap sekitarnya.

"Ya, emang apa yang lo harapin dari manusia?"

Biru menoleh, saat tanya bernada gamang Nathan suarakan tanpa mengalihkan atensinya pada jalanan didepan sana. Pada barisan kendaraan yang terjebak macet hingga bunyi klakson saling bersahutan dengan nyaring.

"Kalo lo ngerasa dikecewain. Itu salah lo sendiri karena lo naruh harapan terlalu tinggi sama manusia," tutur Nathan bersama manik kelamnya yang bertubrukan dengan manik cokelat madu milik Biru.

"Jangan berharap terlalu banyak sama manusia. Manusia itu cuma ciptaan, bukan pencipta."

Nathan kembali menyelami manik cokelat madu milik Biru, sebelum kemudian melanjutkan, "Jangan percaya seratus persen sama siapapun selain diri lo sendiri. Begitu juga gue, jangan terlalu percaya sama gue. Karena bisa jadi, gue bakal ngecewain lo kedepannya. Itu sebagai antisipasi. Supaya lo nggak berharap terlalu banyak sama orang lain."

Biru pikir, Nathan ini mengidap penyakit semacam bipolar. Sebab Biru seolah tidak mampu menerka suasana hati Nathan, serta jalan pikiran pemuda jangkung tersebut. Satu menit sebelumnya ia bisa bersikap narsis tanpa tau malu. Lalu sstu menit berikutnya ia berubah menjadi sosok yang jauh lebih dewasa dan kritis.

Namun terlepas dari itu, baris kalimat yang Nathan suarakan selalu mampu menampar Biru pada realita kehidupan yang sebenarnya.

Benar, mungkin memang Biru yang berharap terlalu banyak pada manusia. Hingga saat dikecewakan sedemikian rupa, Biru merasa seolah semesta berlaku tidak adil padanya. Padahal, Biru hanya salah menaruh harap. Pada manusia yang sejatinya hanya ciptaan, bukan pada Tuhan, yang merupakan pencipta yang sebenarnya.

"Abang bener, kayaknya emang aku yang salah menaruh harapan. Harusnya, aku berharap sewajarnya sama mereka," ucap Biru setelah mengambil jeda panjang untuk sejenak.

"Tapi .... bolehkan, aku berharap abang tetep jadi Jonathan yang aku kenal?"

Bocah limabelas tahun itu membuang napas cukup panjang, sebelum manik cokelatnya kembali terarah pada pemuda jangkung disampingnya.

"Tolong, jangan pernah berubah. Jangan jadi bagian dari lukaku kayak mereka. Bang Nathan, Erren, Juna, dan Hiro. Kalian punya peran penting buat aku. Kalian yang ngajarin aku buat lebih kuat dan nggak gampang buat nyerah. Kalian yang ngajarin aku cara bersyukur," tutur Biru dengan tulus yang mampu Nathan tangkap dari tiap baris kata yang Biru perdengarkan.

Pemuda berbahu lebar itu juga menangkap binar penuh harap dari balik manik cokelat Biru. Namun, hal itu rupanya menjadi beban untuk Nathan.

Nathan tidak yakin ia mampu mempertahankan binar harap milik bocah itu. Namun, dia juga sangsi jika kelak dirinya mungkin saja akan mematahkan binar harap dari sekembar manik cokelat madu itu.

Rengkuh Sang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang