Hampir satu jam setelah masuk Bandung, Yuna akhirnya sampai ke tujuan dengan menenteng beberapa kantong berisi makanan yang tadi akhirnya dia beli untuk mengisi perut. Dulu, waktu TK, Yuna pernah punya cita-cita mau jadi polisi. Menurutnya, seseorang yang bekerja sambil pakai seragam seperti para ibu polwan itu keren. Semakin besar, Yuna semakin sadar kalau orang yang kerja pakai seragam bukan cuma polisi, tapi juga satpam, petugas keamanan, dan seperti yang ada di hadapannya sekarang, petugas lembaga pemasyarakatan. Yuna kecil mungkin tetap akan kagum melihat para petugas ini, tapi Yuna dewasa sudah terlanjur mengasosiasikan seragam dengan kejadian-kejadian tak mengenakan. Dia muak dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan lembaga negara, politik, dan tetek-bengeknya.

Setelah berhasil melewati pos pemeriksaan, Yuna dipersilahkan untuk masuk ke ruang tunggu. Dia hanya mau mengikuti prosedur yang ada, tidak pernah mau kalau diajak langsung masuk ke dalam, padahal tempat mendekamnya para tikus negara itu sebenarnya mewah dan terasa lebih seperti tempat liburan karena berisi banyak saung tempat bersantai. Tak lama, ia akhirnya diarahkan petugas ke sebuah ruang kecil bertuliskan ruang kunjungan di bagian atasnya.

"Kakak!" sapa pria paruh baya yang ada di dalam ruangan itu.

Tubuhnya terlihat sedikit lebih gemuk sejak terakhir kali Yuna bertemu dengannya. Rambutnya yang mayoritas berwarna putih sudah disisir rapi. Pakaiannya juga begitu necis untuk seorang tahanan negara. Di hadapan ayahnya ada Nala, adiknya, yang sepertinya sudah berangkat lebih dulu tadi pagi untuk sampai ke sini karena semalam Yuna masih bertemu dengannya di apartemen.

"Kakak duduk di sebelah adek, Nak! Itu Bapak dibawain apa?"

Yuna memutar bola matanya malas. Nada sapaan ayahnya terlalu ceria. Yuna tidak suka itu. Yuna tidak suka kalau harus pura-pura harmonis, padahal keluarga itu sudah hancur sejak ayahnya memutuskan untuk meninggalkan ibunya dengan perempuan lain. Perempuan yang pada akhirnya melahirkan anak laki-laki yang kini sedang tersenyum ke arahnya.

Sadar bahwa ada urusan yang harus diselesaikan oleh kakak dan ayahnya, Nala pun pamit keluar, berkedok ingin pergi ke toilet. Tadi pagi, dia berangkat lebih dulu ke Bandung. Nala tidak ingin membangunkan Yuna karena merasa tidak berhak mengajak kakaknya untuk menjenguk ayah mereka. Nala sadar kalau kakak dan ayahnya tidak akur, jadi dia tidak berharap banyak akan bertemu dengan Yuna hari ini.

Tapi ternyata perkiraannya salah. Yuna tetap datang meskipun tempo hari, ketika diberi tahu soal ayah mereka sudah bisa dijenguk, perempuan itu sama sekali tak menjawab. Ini salah satu alasan Nala tidak pernah sakit hati dengan perlakuan Yuna. Nala tahu kakaknya orang baik, hanya saja kisah hidupnya membuat Yuna tumbuh jadi orang yang keras.

Setelah Nala keluar, ruangan itu kembali sunyi. Yuna hanya berkutat dengan ponsel, sementara Ayahnya bingung harus mulai dari mana.

"Sehat, Nak?" pertanyaan basa-basi akhirnya jadi pembuka pembicaraan empat mata ini.

"Sehat."

"Buka, dong, itu kamu bawa apa. Bapak mau coba."

Yuna tidak membuka bungkusan itu, hanya menggeser sedikit posisi plastik agar terjangkau oleh ayahnya. Yurisjman akhirnya membuka sendiri bungkusan itu. "Kok kamu tahu Bapak suka kupat tahu?" tanya pria itu tersenyum.

"Aku nggak tahu, tadi nemunya di jalan itu," jawab si sulung acuh tak acuh.

"Bapak senang banget, lho, kamu datang ke sini. Kok tadi nggak sekalian aja barengan sama Nala? Mau kasih surprise, ya?"

"Nggak."

"Nak, kalian itu cuma punya satu sama lain, loh, kalau nanti Bapak udah nggak ada." Pria paruh baya itu memberikan tatapan berharap yang membuat Yuna tidak nyaman.

"Anak itu punya mamanya. Aku yang dari awal nggak punya siapa-siapa."

"Kok kamu ngomongnya gitu, kamu punya Bapak, lho."

Yuna hanya mendengus, sedikit menyesali kehadirannya pagi ini. Ketika Nala memberi tahunya soal waktu kunjungan yang sudah diberikan, Yuna memang berniat untuk datang karena selama masa sidang dan ketika ayahnya masih ditahan di Jakarta, Yuna sama sekali tidak pernah hadir. Sejak penangkapan terjadi, Yuna jadi lebih sering mengunjungi makam ibunya, seolah-olah ingin membayar abai yang ia berikan untuk orang tua yang masih ada. Seolah-olah, hal itu bisa menyingkirkan rasa bersalahnya karena begitu marah pada sang ayah.

"Adikmu sayang banget, loh, sama kamu, Nak ... dia selalu cerita katanya kamu kakak yang keren, kamu selalu kasih contoh yang baik buat dia, rajin kerjanya, rapih barang-barangny—"

"Aku nggak bisa lama-lama."

"Kamu baru sampai, Nak. Capek nyetir jauh istirahat dulu."

"Aku emang udah rencana nggak mau lama-lama, aku mau istirahat pas sampai rumah aja."

"Bapak masih kangen, kita belum banyak ngobrol."

Yuna heran dengan dirinya sendiri yang walaupun sangat ingin beranjak, juga berat untuk pergi begitu saja. Kata kangen yang barusan ayahnya ucap, seingatnya adalah yang pertama dalam beberapa tahun terakhir. Perempuan itu terdiam sampai akhirnya pintu ruangan terbuka dan Nala masuk ke dalam. Ada kelegaan yang Yuna rasakan dan ini pertama kali dalam hidupnya dia bersyukur akan kehadiran sang adik. Nala, dengan senyum yang masih bertahan di wajahnya yang lelah, lantas ikut menikmati makanan bawaan kakaknya.

Percakapan hari itu kemudian sebagian besar berlanjut dengan percakapan seputar kuliah Nala dan kabar ibunya. Sejak tertangkap, Yurisjman sudah wanti-wanti istri dan anak bungsunya untuk menyingkir dari spotlight, agar keduanya tidak ikut terseret, meski selama ini pun keduanya tidak pernah terlalu banyak tampil di muka publik. Istrinya kini kembali menetap di kampung halamannya dan sesekali ke Bandung untuk menjenguk, sedangkan Nala tetap di Jakarta karena harus menyelesaikan kuliahnya. Waktu itu ayahnya memaksa agar Nala tinggal bersama Yuna. Nala tidak menolak, karena sekaku-kakunya Yuna, dia tetap kakak favoritnya, meskipun pada akhirnya harus merasakan perlakuan dingin.

"Ajak adikmu kembali sama-sama ke Jakarta. Dia tadi naik kereta ke sini," pinta Yurisjman saat kedua anaknya pamit pulang. Yuna mendengus dan langsung keluar ruangan tanpa bilang apapun, meski sedetik kemudian Nala mengikutinya dari belakang.

"Aku aja, Kak, yang bawa." Nala akhirnya buka suara setelah mereka sudah ada di parkiran. Masih tanpa suara, perempuan itu memberikan kunci mobilnya dan langsung menuju ke kursi penumpang depan.

"Kakak mau mampir beli cemilan dulu buat di jalan?" tanya Nala saat mereka mulai keluar area lapas.

Karena tidak ada jawaban, laki-laki itu kembali bertanya, "Atau mau mampir makan dulu? Udah mau sore, Kakak tadi, kan, nggak ikut makan sama aku dan bapak."

Karena sunyi yang dirasakan membuatnya resah, Nala tetap memutuskan untuk memulai percakapan. "Aku nyalain lagu ya?"

Kakaknya belum menjawab, tetapi beberapa menit kemudian, Nala mendapatinya menguap dan hampir terpejam.

"Apa aku matiin aja lagunya supaya Kakak bisa tid—"

"Sekali lagi kamu banyak tanya, mending kamu turun aja di depan," potong Yuna.

Nala hanya mengangguk, lantas mematikan lagu yang sempat mengalun. Tidak ada sakit hati dalam dirinya, karena dia tahu Yuna mengizinkannya untuk satu mobil bersama ke Jakarta saja sudah di luar dugaan. Hanya berselang sebentar, lelaki itu bisa mendengar deru napas pelan dari sebelah kiri tubuhnya. Kakaknya akhirnya terlelap dengan mulut sedikit terbuka karena kelelahan, membuat Nala mau tak mau tersenyum lembut menyaksikan topeng galak itu perlahan luntur.

______

Nala T__T

Three Words TheoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora