Part 37

304 49 10
                                    

Seolah kedua kakinya telah terpaku pada tanah yang dipijaknya, Winna hanya mematung ketika melihat petugas medis mengangkat tubuh Calvin yang tidak sadarkan diri masuk ke dalam mobil ambulans. Kemana saja dia? Kenapa dia mengabaikan tanda-tanda yang ditunjukkan Calvin sejak awal dan membiarkannya untuk tetap tampil? Dalam hati, Winna terus memaki dirinya. Ini semua terjadi karena Winna hanya mementingkan dirinya sendiri... Dia pikir bisa tampil bersama-sama di atas panggung dengan band-nya adalah awalan baru dari kehidupan bahagia yang menantinya. Namun dia keliru.

Selama ini, Winna pikir hanya dirinya yang berjuang untuk hidup. Dia lupa bahwa penyemangatnya satu-satunya, Calvin bertarung setiap hari melawan penyakit jantung bawaan yang diidapnya. Sungguh ironis. Winna merasa dirinya terlalu egois karena melupakan fakta itu.

"Saya boleh ikut, Pak? Dia adik saya." Calla maju menghampiri petugas medis yang membawa Calvin dan hendak naik ke mobil ambulans. Tatapan ngeri masih tergambar jelas di wajah cantik Calla, namun kedua tangannya yang terkepal erat berkata lain. Entah sudah seberapa sering Calla menyaksikan kejadian itu untuk tampak setegar sekarang.

Sirine ambulans dibunyikan, mengumumkan keberangkatan. Winna hanya dapat mengamati mobil itu melaju semakin jauh dari posisinya.

"Winna," panggil Adriel yang entah datang darimana dan sejak kapan. "Mau ikut nyusulin Calvin ke rumah sakit, gak?"

Winna melemparkan pandangan bimbang ke Renata dan Aloy di belakangnya. "Lo duluan aja, Win. Nanti kita nyusul setelah beres-beres." Balas Aloy merestui.

"Si Calvin emang ada riwayat sakit jantung, ya? Kok gue baru tau..." Ujar Renata.

Calvin yang selalu merahasiakan kondisinya karena tidak mau dipandang lemah dan dikasihani oleh orang lain... Hari ini, terpaksa rahasia itu harus terbongkar.

Perjalanan menuju rumah sakit berlalu hening. Sebagai satu-satunya penumpang, Winna yang duduk di kursi sebelah pengemudi masih larut dalam pikirannya yang hanya mengkhawatirkan Calvin.

Dengan sekuat tenaga, Winna menahan air matanya agar tidak terjatuh. Namun upayanya gagal ketika hidungnya menciptakan suara dengusan yang langsung disadari Adriel. "Kenapa, Win? Kok nangis?"

"Calvin bisa tumbang karena gue, Kak. Padahal dia terang-terangan udah nunjukin gejalanya tadi, tapi gue malah sibuk nenangin diri gue yang grogi dan nyiapin penampilan buat MuFez. Gue egois, Kak. Gue cuman mikirin diri gue sendiri, padahal Calvin selalu ngutamain gue."

"Kalau dari cerita Calla, dari dulu Calvin emang sering nge-drop tiba-tiba kok, Win. Jadi jangan salahin diri lo, ya. Ini diluar kendali lo, kok. Kita sama-sama doa aja ya semoga kondisi Calvin cepet pulih."

Winna ingin mempercayai kata-kata Adriel. Sepanjang perjalanan, Winna hanya mengucapkan doa yang sama dalam hati. Tuhan, kalau Engkau benar-benar ada – tolong lindungi dia. Tolong jangan renggut nyawa Calvin yang lebih berharga dari apapun yang bersinar di dunia ini. Tolong jangan ambil alasan terakhirku untuk hidup. Aku hanya butuh Calvin. Aku janji aku nggak akan menyia-nyiakan hidupku lagi.

Tiba di rumah sakit. Winna dan Adriel mendapati Calla berjalan mondar-mandir di ruang tunggu. Berbeda dari sebelumnya, wajahnya terlihat pucat.

"Calvin gimana kondisinya, Cal? Dimana dia sekarang?" Tanya Adriel.

Kakak perempuannya Calvin malah membentangkan tangannya dan membiarkan air matanya tumpah dalam dekapan kekasihnya. "Tadi petugas medisnya nggak bisa ngerasain detak jantungnya Calvin, tapi di mobil gak ada alat defibrillator... Aku takut banget... Aku takut dia gak selamat. Terus sekarang Calvin lagi ditanganin di ICU dan aku nggak boleh ikut masuk. Aku takut banget, Driel. Mau berapa kali aku ada di posisi ini – aku tetep takut!"

eighteen [END]Where stories live. Discover now