Part 10

291 49 17
                                    

"Gak berasa ya, besok udah hari Jumat aja. Terus libur seminggu. Lanjut outbound. Terus libur bentar. Ngedip. Tiba-tiba udah masuk kuliah aja," ujar Calvin. "Fix gue bakal kangen lo pada. Apa lagi Kak Adriel."

"Tadi pas gue baru nyampe, lo gak ngasih gue masuk - nanyain ngapain gue dateng. Sekarang sok-sok bilang bakal kangen. Dasar cowok omongannya gak sesuai sama perbuatan." Keluh Adriel seperti janda yang paling tersakiti.

"Eh, Driel. Pas kita udah mulai kuliah tuh beneran tiap hari Sabtunya bakal diadain ospek?" Tanya Teo lancang.

"Dral, Dril, Dral, Dril," yang punya nama tersinggung. "Awal-awal iya Te tiap minggu. Makin lama makin jarang, kok. Apa lagi pas mendekati minggu ujian."

"Bakal kangen gak sih guys malem-malem kayak begini?" Calvin mengedarkan pandangan sendunya.

"Gak lah, cok." Jawab Teo memupuskan harapan Calvin. Entah mereka sudah lebih dekat atau memang kasar aja, tapi yang Winna sadari, mereka saling memanggil satu sama lain dengan sebutan 'cok'. "Lo udah ketularan si Adriel, ya? Lebay anjir. Mana? Udah hampir seminggu, buktinya ospek gak semengesankan itu."

"Anjing. Gue lagi, kan."

"Ya, lo main aman, cok! Mau berharap seru kayak gimana? Coba lo kayak gue, nantangin komdis, terus sakit biar bisa bolos." Pamer Calvin bangga.

"Sebagai mentor kalian, gue merasa gagal, guys." Lalu Adriel melemparkan pandangan ke Winna seolah sedang mencari pertolongan. "Tolong dikondisikan, Win. Lo mentee gue yang paling lurus."

Kalau boleh jujur, Winna nggak membenci Kelompok 18. Walaupun Calvin seperti yang dia sendiri sudah akui, banyak bikin onar. Teo yang juga kepala batu mau menang sendiri (untung dia masih punya otak walaupun kecil). Dan Kak Adriel yang sebenarnya ada atau nggak ada, gak membawa banyak perbedaan. Seperti itulah kira-kira Winna melihat Kelompok 18. Di matanya, mereka hanya sebatas rekan kerja tanpa ikatan emosional apapun.

Padahal jauh di lubuk hatinya, Winna tahu bahwa dia hanyalah seorang pengecut yang gak punya keberanian untuk membuka diri ke orang baru. Karena semakin dekat kamu dengan seseorang, semakin perih luka yang akan ditinggalkan ketika suatu hari orang tersebut memutuskan untuk pergi. Dan di dunia ini tidak ada yang abadi.

"Tugasnya sih yang bikin enek," Winna berterus terang. Selebihnya dia enggan berkomentar.

Percayalah, gak mudah memasang wajah berseri dan sikap positif setiap saat. Padahal aslinya Winna seperti ini. Penuh dengan hawa negatif. Tapi siapa sih yang suka dan mau menerima sisi gelapnya?

"Pas ospek udah kelar, tetep nyapa ya guys kalau ketemu." Ujar Calvin.

"Gue puter balik." Sahut Teo.

"Monyet, Teo." Giliran Calvin yang melirik Winna, memamerkan muka kasihan. "Lo jangan gitu ya, Win."

"Tergantung lo ngapain dan pakai baju apa, Vin. Kalau malu-maluin, paling gue pura-pura gak kenal." Setidaknya Winna masih bisa bercanda. Maka dari itu dia gak merasa ada yang salah dengan dirinya - lebih tepatnya, dia merasa selama masih bisa dia atasi, dia nggak butuh pertolongan.

"Kak Adriel, tinggal lo harapan gue." Calvin menatap Adriel melas.

"Essay lo tuh masih kosong."

Teo yang kelihatannya telah menyelesaikan essay-nya, meletakkan pulpennya dan menyelonjorkan kakinya. "Besok agendanya tinggal pameran UKM? Emang wajib ya ikut UKM?"

"Gak wajib, sih. Cuman sebagai sarana buat mahasiswa menyalurkan minat dan bakat aja. Sekalian bangun koneksi." Jawab Adriel.

"Jawaban lo template abis."

eighteen [END]Where stories live. Discover now