Part 9

318 53 4
                                    

Sekitar pukul 4 subuh, Ria mendengar pintu kamar kos Calla berderak.

"Eh, sorry, Ri. Gue bangunin lo, ya?" Kata Calla yang tertangkap basah baru pulang subuh.

Kemarin Ria sudah minta izin ke Calla untuk menginap di kosannya karena lantai kosan Ria penuh dengan maba yang sibuk kerja kelompok semalaman. Jadi sudah kebayang kan bakal seberisik apa? Selain itu, Ria juga merasa canggung jika dia yang mengenakan jaket almamater (dress code panitia ospek) harus melewati lorong penuh maba di luar jam ospek. Para maba selalu kelihatan awas tiap ada senior atau panitia yang lewat karena kalau mereka gak menyapa atau mengenali panitia tersebut, hal itu bisa dijadikan bahan evaluasi di hari berikutnya. Siapa pun panitia yang mempermasalahkan hal sesepele itu – menurut Ria, mereka lebay.

Calla tentu nggak keberatan jika Ria mau menginap atau memakai seluruh fasilitas yang ada di kosannya. Tapi Calla sudah berpesan kalau dia bakal keluar sebentar untuk menemui Jevan buat menyelesaikan 'masalah' mereka. Katanya sih sebentar, tapi bisa-bisanya Calla baru balik kosan jam 4 subuh. Jam di kosan Jevan rusak atau bagaimana?

"Tadinya kalau lo gak balik-balik juga mau gue laporin. Untung anaknya masih inget pulang," ujar Ria terus terang.

"Hehe. Udah kayak emak gue aja lo!" Calla hanya cengengesan. "Gue ketiduran, Ri."

"Ketiduran tapi kok kancing baju lo bisa kelongkap?"

Calla refleks melihat ke bawah untuk membuktikan tuduhan temannya. Semburat merah muncul di wajahnya. "Ya, kan abis itu ketidurannya. Gak salah."

"Abis apa?"

"Abis makan, terus begah, terus ngantuk."

"Calla udah gede ya sekarang..."

"Engga, kok. Aku masih polos... Ini sebenernya lo lagi ngigau aja, Ri. Gue udah pulang dari tadi." Calla mencoba mengelabui Ria. Padahal kedua mata Ria sudah segar kembali setelah tidur sebentar.

"Yang ada lo makin kedengeran kayak orang ngigau," balas Ria gak menggubris. "Mandi dulu gih sana. Cuci dosa."

Calla memukul lengan Ria ketika dia hendak melalui temannya untuk mengambil handuk. "Orang gak ngapa-ngapain!"

Sembari menunggu Calla selesai bebersih di kamar mandi, Ria terbaring di kasur Calla dan memandangi langit-langit. Jamnya terlalu nanggung untuk kembali tidur. Yang ada, Ria bisa gak bangun untuk berangkat sebelum jam 6. Belum harus make up dan nyatok. Memang ya, jadi cewek itu ribet.

Dalam lamunannya, Ria termenung. Dia sudah menjadi sahabat Calla selama lima tahun – itu pun dia sudah jauh dari lama mengenal Calla (satu sekolah sejak SD, terpisah sewaktu SMP, lalu ketemu lagi di SMA yang sama). Tapi kalau diingat-ingat, Calla baru berubah banyak dalam setahun belakangan ini.

Perubahannya juga gak buruk. Calla jadi lebih tahu how to have fun. She's no longer the goody-two shoes atau orang yang selalu mematuhi aturan dan takut buat salah. Calla juga seorang yang pintar dan bisa berpikir panjang, jadi Ria nggak perlu terlalu mengkhawatirkan Calla.

Sewaktu SMA, keduanya bersekolah di sekolah yang muridnya perempuan semua. Jadi, bisa dibilang nggak banyak kesempatan buat bertemu dengan lawan jenis dan pacaran. Sekolah mereka juga terkenal dengan kurikulum pembelajaran yang berat dan strict. Tentu pada saat itu Calla mengedepankan prestasi akademiknya lebih dari apapun.

Justru Ria lebih senang melihat Calla yang sekarang karena Calla yang sekarang jadi lebih imbang. Tau kapan harus serius, kapan bisa main-main.

Aroma semerbak keluar dari pintu kamar mandi. Dibalut dengan pakaian tidur yang nyaman, Calla membentangkan handuknya di atas bantal yang ditiduri Ria (termasuk muka Ria) dan berbaring di sebelah sahabatnya itu. Kayaknya sejak pulang dari kosan Jevan, Calla belum sepenuhnya terbangun.

eighteen [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant