Part 26

268 44 28
                                    

Adriel merasa ada yang aneh dengan diri Ria. Bukan hanya karena akhirnya dia menyetujui permintaan Adriel untuk putus, tapi juga ajakan kencan terakhir dari Ria. Kata 'terakhir' selalu terdengar mengerikan di telinganya. Ria benar-benar tidak apa-apa, kan?

Di hari Sabtu, Ria mengajak Adriel untuk bertemu di roller skate rink di pusat kota Jakarta – tempat kencan pertama mereka. Roller skate rink yang menjadi lokasi tujuan mereka memiliki konsep yang unik, yakni dipadu dengan art gallery sehingga dalam area rink terpasang beragam instalasi seni yang begitu instagrammable.

Karena tempat itu merupakan tempat kencan pertama mereka, tentu Adriel tidak dapat melupakannya. Tak lupa kemampuan Ria dalam menjaga keseimbangan ketika mengenakan sepatu roda. Mungkin kalau dulu Adriel tidak menuntunnya, Ria sudah menabrak bahkan merusak setiap instalasi seni yang dilaluinya.

"Udah siap?" Tanya Ria yang telah berdiri tegak di atas sepatu rodanya, kedua tangan bertolak pinggang dengan penuh percaya diri.

"All set," Adriel mengulurkan tangannya pada Ria, mempersilakan cewek itu menjadikannya penyokong sepanjang mereka bermain sepatu roda.

"Ngapain?"

"Pegangan, kan? Biar lo gak jatuh."

"Naik sepatu roda doang masa gak bisa?" Ria memasuki area rink dan meluncur dengan lancar. "See? Gini doang masa gak bisa."

"Keren, keren," puji Adriel terpukau sebelum dia ikut melangkah masuk ke dalam rink, "Jangan bilang selama ini lo ada latihan diem-diem?"

"Enggak, sih. Gue emang dari dulu bisa. Tapi dulu gue mau modus aja biar bisa gandengan sama lo."

"Bisa-bisanya..." Adriel sampai tercengang. "Can I ask you something?"

"Sure. Ask away."

"Kenapa tiba-tiba lo ngajak gue nge-date buat terakhir kali gini? What made you change your mind? Are you hiding something from me? Is everything all right...?"

"Banyak nanya amat kayak wartawan."

"Serius..."

Tawa Ria pecah, "Where do I even start? Long story short, sejak terakhir gue ketemu lo itu, gue mulai fokus sama diri gue sendiri. Gue nemu hobi baru, bisa quality time sama keluarga dan temen-temen gue – tapi di tengah kesibukan gue itu, gue masih sempet merenungkan diri."

"I thought a lot about us – where our relationship is heading. But this time, I stopped blaming others for why things aren't working out the way we wanted. Then the realization hit me. Maybe it was me all along. Mungkin selama ini, gue yang terlalu egois buat nahan lo untuk stay. Padahal dari awal gue tau lo gak punya perasaan yang sama ke gue. Just like me, you didn't want to be alone. Tapi mau sampai kapan gue maksain perasaan gue ke lo...?"

Adriel menunduk lirih dan mematung di tempat. Tanpa mengindahkan tatapan dan bisikan pengunjung lain yang berlalu lalang. "Maafin gue, Ri. Gue tau maaf aja gak cukup buat memperbaiki segalanya. But it's the least I can do for now–"

"That's why I want to make everything right today. Even if we're going our separate ways after this, I want our relationship to become a pleasant memory for both of us. My last wish, gue gak mau ada penyesalan di hubungan kita. So I don't want to hear your sorry, Driel."

Sebuah senyuman terulas di wajah tampan Adriel. "Your wish is my command. Tapi lo beneran gapapa kan, Ri? Lo sehat-sehat aja, kan?"

"Yah, elah. Mana ada orang sakit naik sepatu roda selincah gue? Nih, jalan mundur aja gue bisa!" Tanpa melihat ke sekeliling, Ria melaju mundur dan hampir menabrak pengunjung lain.

eighteen [END]Where stories live. Discover now