The Open Door - 4

Mulai dari awal
                                    

Perkiraan Nadia memang tidak meleset. Sejak tiba di mal terbesar di kota ini, dirinya hanya mengekor dua manusia yang asyik mengobrol. Sesekali Ziva mengajaknya bicara bahkan menarik pergelangan tangannya agar sejajar dengan mereka. Nadia pura-pura menolak, dia tidak bisa mengabaikan tatapan tajam Revian yang memintanya tetap diam di belakang.

Hati kecilnya hanya mampu mengangumi tas maupun pakaian setiap keluar masuk toko. Revian mengajak Ziva khusus membelikan dia hadiah sebagai kado ulang tahun. Keberadaan Nadia tidak lebih sebatas pemberi saran apakah model atau warna barang yang akan Ziva cocok atau tidak.

Revian tampak sangat royal pada sahabatnya. Dalam hitungan jam, tangan Nadia penuh barang-barang belanjaan Ziva. Wanita itu hanya mengangguk ketika tambahan paper bag memenuhi genggaman hingga jemarinya memerah.

Ziva merasa kurang setuju dengan cara Revian memperlakukan Nadia. Tapi dia hanya bisa protes karena asisten baru sahabatnya tampak tidak keberatan.

"Ini kamu pakai untuk makan siang." Revian mengambil semua barang belanjaan dan menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. "Nanti saya kabari kalau sudah selesai."

Nadia mengangguk dan menganggap ini kesempatan untuk sejenak melarikan diri dari perintah Revian. Lagi pula sebagai wanita biasa, terbersit rasa ingin memiliki barang-barang yang sempat dilihatnya ketika menemani Ziva belanja tapi begitu mengetahui label harga barang-barang itu, Nadia cuma mengulum senyum. Dia harus menguras sisa tabungannya demi satu tas.

Kepalanya menggeleng, meneruskan langkah menuju foodcourt. Setiap orang memiliki rezeki masing-masing. Dia tidak boleh iri hanya karena orang lain lebih beruntung.

Lapar  setelah berkeliling terobati dengan sepiring nasi goreng dan es teh manis. Dia menggunakan sisa kembalian untuk membeli buku lalu mencari tempat duduk sembari meregangkan otot kaki. Tangannya menatap sebuah kartu nama. Kebetulan dia bertemu teman lama saat makan tadi. Dia menawarinya menjadi model untuk acara lomba fotografi karena ada salah satu model yang mendadak tidak bisa datang. Tawaran yang menarik. Bayarannya lumayan untuk tambahan tabungan tapi dia harus berpikir panjang sebelum memutuskan.

Selang satu jam menunggu kabar, Revian tiba-tiba menghubunginya dan memintanya pulang dengan taksi. Dia harus ke tempat lain. Teman-temannya mengadakan acara ulang tahun untuk Ziva. Keduanya akan langsung ke tempat acara setelah dari mal.

Nadia sadar diri. Statusnya sekadar karyawan biasa, baru beberapa hari kerja lagi. Mana mungkin dia berani datang tanpa diajak. Dan jelas Revian tidak berniat mengikutsertakan dirinya dalam acara itu. Lagi pula kalaupun ikut, dia akan kesulitan berbaur dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Kembali ke kamarnya adalah pilihan paling aman. Dia bisa beristirahat, melanjutkan membaca buku yang baru dibeli atau mencari kesibukan lain. Setelah memasukan buku dalam tas, Nadia melanjutkan langkahnya keluar dari mal.

Revian memandangi kemeriahan pesta yang diadakan teman-temannya untuk Ziva di sebuah restoran. Dia baru mengetahuinya saat makan siang tadi. Canda tawa, aneka makanan lezat dan meriahnya pesta terasa datar. Pikirannya tidak berada di tempat ini meski setengah mati berusaha menikmati suasana.

Entah kenapa wajah sendu Nadia berkelebat. Dengan mudah dia bisa membaca raut wanita itu ketika mereka memasuki toko demi toko. Wanita itu sempat dipergokinya menghela napas saat melihat label harga sebuah tas. Awalnya perasaannya senang karena niatnya memanasi Nadia membuahkan hasil tetapi tidak berapa lama dadanya justru sesak oleh rasa bersalah. Terutama ketika ingatan di kepala memutar saat dirinya melihat jemari wanita itu memerah karena terlalu banyak menenteng belanjaan dalam waktu lama.

Dulu Nadia memang selalu mengomelinya, mudah marah karena masalah kecil atau merengut saat dia tidak bisa melakukan permintaannya. Wanita itu seperti monster dalam mimpi buruk namun ada hal yang masih menempel dalam kenangan. Nadia selalu menerima  apapun pemberiannya meski bukan benda berharga mahal.

The Open DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang