The Open Door~ 9

59.5K 4.9K 206
                                    

Nadia memilih kembali ke kamar, jam kerjanya memang sudah selesai sebelum Revian memintanya datang ke halaman belakang tadi. Berulang kali mulut mungilnya menghela nafas, menenangkan diri sambil duduk di tepi ranjang. Jemarinya saling meremas, gelisah sekaligus kesal ketika bayangan kedua sosok itu tengah berpelukan melintas dalam ingatan.

"Hei kenapa tadi kamu pergi tanpa bilang dulu! Siera sudah pulang karena terlalu lama menunggu. Ponselmu juga tidak aktif." Pintu kamar tiba-tiba dibanting cukup keras. Revian berdiri di ambang pintu dengan raut mengeras karena amarah. Ekspresi yang menyiutkan nyali siapapun yang melihatnya.

Nadia hanya menoleh sesaat lalu memalingkan wajah ke arah pangkuannya. Dia berpura-pura membongkar isi tas untuk menutupi ketakutan yang semakin besar, ternyata memang benar ponselnya dalam keadaan tidak menyala.

"Aku tidak ingin menganggu acara kalian." Kepalanya masih menunduk, mencari-cari sesuatu yang dia tidak tau apa itu.

Revian berjalan cepat dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Dia menghempaskan tubuhnya tepat di samping Nadia. "Tidak perlu banyak alasan, aku berniat mengenalkanmu padanya. Dia temanku saat kuliah."

"Teman tapi mesra maksudnya," guman Nadia yang sekilas terdengar bernada cemburu. Akal sehatnya sulit untuk dikendalikan saat ini.

Revian tersenyum lebar, dia tidak mungkin salah membaca raut masam wanita disebelahnya. Nadia belum pernah menunjukan sikap cemburu padanya, hanya egois dan gengsi yang laki-laki itu ingat. Justru dirinyalah yang selalu merasakan sakit hati setiap Nadia berdekatan dengan laki-laki lain.

"Hubungan kami hanya sebatas teman. Jangan salah paham dengan kedekatan kami. Bagaimanapun dialah yang membantuku melewati masa-masa sulit. Jadi mengertilah, aku tidak ingin mendengarmu memintaku menjauhinya." Tegas Revian.

Nadia tersenyum getir, ini adalah pilihan yang harus dia jalani. "Tenang saja, hubungan kita masih sebatas pacaran. Aku mengerti ada batasan yang harus kita hargai termasuk soal kehidupan di luar hubungan ini. Kita bukan lagi anak sma jadi tidak perlu memperpanjang hal seperti ini."

Laki-laki berwajah tampan itu memandangi Nadia yang tidak lagi duduk disampingnya. Memperhatikan Nadia yang tengah meletakan tas miliknya di nakas. Dihelanya nafas dalam-dalam lalu membuang semua ego yang di balut kemarahan. Usahanya untuk memperbaiki keadaan akan berujung kegagalan jika dia tidak pintar menahan diri. Dan perpisahan bukanlah akhir yang dia inginkan.

Diredamnya kuat-kuat bayangan masa lalu yang masih menyisakan luka. Dia harus mampu mengalahkan kebencian yang terkadang muncul saat Nadia memperlihatkan sikap menantang. "Kalau begitu kita selesaikan ini tanpa emosi. Sekarang duduklah, kita bicarakan semua dengan kepala dingin."

Nadia memejamkan mata, mencari kekuatan untuk tidak kalah pada perasaan. Setitik harapan terlanjur tumbuh dalam hatinya. Hasrat untuk mencintai jiwa yang sama meskipun sosoknya jauh berbeda.

"Membicarakan apalagi, bukankah aku sudah bilang tidak akan mempermasalahkan siapapun temanmu." Dia memilih untuk tetap berdiri di tempatnya.

Perlahan Revian bangkit, membalas sikap keras kepala Nadia hanya akan memperbesar jarak keduanya. "Kalau memang begitu kenapa sikapmu menunjukan sebaliknya."

Mulut Nadia tiba-tiba terkunci. Kepalanya menunduk ketika langkah Revian semakin mendekat. "Apa yang salah dengan sikapku?"

Revian merengkuh tubuh Nadia dalam pelukan. Dia harus membiasakan diri, mengimbangi sikap wanita itu tanpa membalas dengan cara kasar. "Aku memilihmu bukan dia atau wanita lain tapi kita tidak bisa membuang begitu saja kehidupan sebelum pertemuan ini. Aku ingin kita bisa nyaman dengan keadaan yang baru termasuk kehadiran orang-orang di sekeliling."

The Open DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang