The Open Door - 4

74.8K 4.5K 403
                                    

Cahaya menyusup dari balik tirai. Biasnya mengenai wajah Nadia, mengusik kenyamanannya dalam buaian mimpi. Matanya perlahan bergerak, sedikit membuka meski tubuhnya masih berlindung di balik selimut tebal. Dia mengedarkan pandangan  ke sekeliling kamarnya. Butuh waktu beberapa menit hingga dia menyadari apa yang terjadi kemarin. Oh, sial. Kenapa alarm tidak berbunyi sih.

Tidak ingin membuang waktu, disingkapnya selimut ke sembarang arah. Dengan cepat dan terburu-buru, kegiatan paginya diselesaikan tanpa melihat jam. Memikirkan kemarahan Revian karena dia tertidur di kamarnya membuatnya harus meminta maaf.

Eh tunggu dulu, kalau dia hanya tertidur di kamar Revian berarti seharusnya di luar gelap bukan terang seperti ketika matahari baru bersinar. Isi kepala Nadia menjadi kosong. Wajahnya memucat menyadari belum pernah melihat kamar mandi yang dimasukinya. Bila ternyata  dia memang ketiduran hingga pagi, semoga saja Revian tidak pulang kemarin. Jika harapannya meleset maka hari ini dipastikan akan jadi buruk sekali.

"Pagi, Nadia. Tidurmu nyenyak."

Tubuh Nadia membeku. Sedingin es dan seberat batu puluhan kilo. Tangannya yang masih memegang kenop pintu saat membuka pintu kamar mandi bergetar.

Revian duduk di kursi kerjanya, menatap tepat ke bola mata bulat wanita di depan pintu kamar mandi. Dia sengaja memamerkan seringai licik sekaligus tatapan tajam. Pertunjukan pagi ini membuatnya luar biasa senang setelah semalam suntuk memaksakan diri tidur di kursi. Rasanya tidak nyaman tapi sebanding dengan pemandangan yang dilihatnya pagi ini. Nadia tampak ketakutan persis seperti dugaannya.

Dia baru pulang menjelang tengah malam setelah berkumpul bersama teman-temannya. Pertemuan dengan Nadia membuat perasaannya diliputi kegembiraan layaknya bisa mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan setelah sekian lama mencari. Dia mentraktir teman-temannya makan dan bersenang-senang di sebuah klub malam terkenal di kota ini. Kepalanya tidak boleh terisi bayangan Nadia, itu sebabnya dia mencari hiburan yang dapat mengalihkan perhatiannya.

Seharusnya kesenangan malam itu menjadi penutup hari terbaik. Revian masih cukup sadar walau sempat minum beberapa sloki. Kesadarannya tetap terjaga meski kepalanya agak pusing. Para wanita muda berpakaian seksi tidak berhenti mendekatinya, mengajak berkenalan yang bisa dengan mudah berlanjut ke hotel andai dia mau. Tapi hasratnya menguap. Dia sibuk menahan diri, mengusir bayangan Nadia yang menyela konsentrasinya ketika mengobrol dengan mereka.

Tubuhnya begitu lelah. Mandi, berganti pakaian dan tidur akan membantunya pulih. Rencana itu pupus sewaktu mendapati sesosok wanita tertidur di ranjangnya.

Wajah Nadia begitu tenang hingga keinginan membangunkannya menyusut. Dia justru melepas alas sepatu dan mengankat tubuh sintal itu ke tengah ranjang lalu menyelimuti dengan selimut tebal. Anggap saja dia masih punya rasa kasihan.

Revian mandi dan berganti pakaian di ruangan yang bersebelahan dengan kamarnya. Dia bisa memilih tidur di ranjang lain. Rumah ini memiliki kamar lebih dari dua. Logikanya begitu kalau dia memang tidak berniat membangunkan atau mau repot menggendong Nadia ke paviliun.

Perasaan lain berkecambuk dalam hatinya. Bayangan masa lalu yang membuatnya tergerak mengamati wanita di ranjangnya. Dia sudah menghabiskan tiga cangkir kopi demi terjaga. Nuraninya tidak bisa dibohongi, cinta itu belum usai. Dan hanya di saat seperti ini dia bisa tenang tanpa terpikir menyakiti Nadia dengan kata-katanya.

Wanita itu semakin cantik. Bulu matanya tebal. Hidung mancung. Belum lagi bibirnya yang menggoda untuk dicium. Ramburnya panjang terurai, berantakan namun memberi kesan seksi. Igauan lirih membuatnya geram sendiri saat membayangkan wanita itu mengerang memanggil namanya.

Revian berdecak pelan. Kesadarannya setelah berkelana dalam lamunan telah pulih. Ini waktunya bermain kembali tapi sebelum itu dia harus mengistirahatkan tubuhnya di tempat yang seharusnya.

The Open DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang