10. Rumah Kontrakan

9 2 0
                                    

Suatu ketika saat pulang dari merantau aku berkunjung ke desa. Aku menemui salah satu pengurus desa, karena ingin bersilaturahmi dan ada sedikit urusan dengan beliau. Aku datang saat pagi hari, kebetulan hari minggu pasti orangnya ada di rumah. Aku ditemani kakakku dan motor supranya. Cuaca pagi yang cukup berangin dan sangat indah.

Aku sudah lama tidak menulis epilog seperti itu, rasanya kaya gimana gitu. Tadinya sih mau langsung to the points aja, tapi biar kalimatnya aga panjang dan banyak mengandung kata. Yaudah aku lanjut aja.

Kita udah sampe nih di tempat bapak pengurusnya, beliau juga ditemani oleh istrinya. Karena sudah lama tidak bertemu, mengingat aku tidak pernah pulang ke desa dan lebih memilih tinggal di kota. Ada banyak yang mereka tanyakan. Seperti kegiatan saat ini, tinggal di mana, kerja di mana, dll.

Selama ini ternyata yang mereka tahu aku ikut tinggal bersama kakakku. Aku merantau di kota besar dan setiap pulang ke tempat kakakku.

Hmm....

Aku tidak tahu, seberapa luas pemahaman ini menyebar. Karena faktanya tidak seperti itu, justru kebalikannya. Kakakku 'lah yang menempati rumah yang aku sewa.

Aku tidak menyalahkan, aku tahu dia juga menginginkan posisi yang penting. Tapi apakah harus membalikan fakta?

Aku pun membenarkan kesalahpahaman ini. Aku menjelaskan bahwa aku di kota menyewa rumah dan selama aku tinggal untuk merantau, rumah tersebut dihuni oleh kakakku.

Aku yang selama ini merasa biasa aja dengan yang aku punya. Kali ini aku speak up, karena ada yang excited rupanya. Dia terkejut, karena tidak percaya dia mengulangi lagi perkataanku.

"Loh, kamu punya rumah kontrakan? Kamu yang bayar?"

Hmm...

Aku menjadi heran sendiri dengan reaksinya. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan di otakku. Aku selalu berpikir positif tapi tidak menutup kemungkinan aku juga overthinking gitu.

Misal :

"Apa ada yang salah?"

"Memangnya kenapa kalau aku ngontrak?"

Bukan, bukan gitu?

Aku menerjemahkan, bahwa aku masih belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan. Karena yang mereka tahu, aku masih sekecil itu, sepolos itu, dan masih belum mengerti apa-apa.

Tidak apa-apa, ada banyak yang mereka tidak tahu. Kalau mereka tahunya aku masih anak-anak, yaudah. Aku terima-terima aja.

Kalau mereka ngga tahu aku hidup sendiri. Mereka ngga tahu aku morat-marit sendiri. Stres sendiri, pusing sendiri. Apa-apa sendiri.
Karena yang mereka tahu, aku masih punya kakak. Asal mereka tahu, aku punya dia, tapi tidak dengan perannya.

Ini hanya topik rumah kontrakan, tapi berhasil membuatku berpikir berlebihan. Ngga nyangka aja, selama ini aku masih dianggap seolah belum cukup umur untuk mengambil tindakan.

Tempat Pulang Where stories live. Discover now