Di belakang punggungnya, isak tangis Indira akhirnya mulai terdengar. Arsad bergeming di tempat. Mendengar tangisan yang mengirisnya tanpa sanggup memeluk Indira kali ini.

***

Tadinya Abel hanya menyapa biasa ketika berpapasan dengan Indira di area parkir, tapi dia mundur lagi. Mengerjap karena mengira penglihatannya salah.

"Mbak rapi banget habis ngedate pagi-pagi?"

Indira tersenyum sekilas, menggeleng. Dia terpaksa menggunakan makeup tebal untuk menutupi wajah sembapnya. Mereka berjalan bersisihan. Masih dengan Abel yang cerewet. "Suami mulai nyuruh buat dandan ya? Padahal natural juga udah cantik. Tapi nggak apa-apa sih, dandan kan hak setiap wanita. Mau natural atau on point atau cetar sekalian kalian tetap cantik di mata kami. Boleh nanya? Alisnya sulam di mana?"

"Alisku asli. Minta kopi dong, Bel."

"Oh, asli, bagus bentuknya. Boleh, aku bikinin sekarang juga." Abel berlari lebih dulu. Pegawai kafe tampak sudah datang. Abel segera menyelinap ke balik konter. Sibuk di depan mesin pembuat kopi dan mulutnya diam sejenak.

Indira menunggu di bangku luar. Melihat satu per satu pegawainya berdatangan. Indira hanya melambai kecil. Senyumnya tak selebar biasanya. Semoga tidak banyak yang menyadarinya.

"Caramel Frappe datang!" Diikuti Abel yang duduk. "Bonus cookies almond."

"Makasih."

Abel kemudian mengomentari cuaca hari ini yang mendung. Seperti hujan semalaman tidak cukup. Lalu fasih menyebutkan beberapa titik ibu kota yang dilanda banjir kalau sampai hari ini juga hujan deras lagi. Lalu macet di mana-mana. Belum pohon tumbang. "Suram," katanya.

"Suram gimana?"

"Buat single kayak aku, cuaca menjelang akhir tahun beneran bikin suram, Mbak."

"Kayak hidupmu sepi aja."

Abel meringis. "Kalau Mbak ngerasa sepi, datang aja ke rumahku. Setiap hari rasanya kayak pasar tumpah."

"Jadi aku mesti bawa keranjang belanja ya?"

Keduanya saling bertukar decihan.

"Apa tawaran ini serius?" Karena pasti menyenangkan ada di tengah-tengah mereka. Pasti hangat. Walau hanya satu atau dua jam.

Abel terdiam sebentar. Menangkap nada ganjil tapi memutuskan tidak membahasnya. "Tentu aja serius. Lila sama Mama pasti seneng Mbak main ke rumah. Ajak sekalian—"

"Oke, aku datang kapan-kapan."

Tetap meneruskan. "Ajak abangku sekalian."

"Dia nggak pantas kamu anggap abang."

"Duh, iya iya, posesif banget."

***

"Jadi Mas Ar sudah jujur?"

Arsad masih diam beberapa menit sampai Bu Midah mengira pertanyaannya tidak terdengar. Tapi lawan bicaranya memang sedang melamun.

"Dia telanjur tahu dari ibunya. Ceritanya rumit, Bu. Saya nggak bisa cerita ke Ibu untuk yang satu ini."

Bu Midah tersenyum penuh pengertian. Salah satu alasannya lebih nyaman bicara dengan Bu Midah ketimbang tantenya, karena ini. Reaksi tenang seperti ini yang dia butuhkan saat ini. Tantenya mungkin akan mengomel panjang jika tahu tindakan yang dipilihnya.

"Istri Mas, maaf Ibu lupa namanya, marah besar?"

"Dia nggak marah. Dia hanya nangis. Tapi dia benci saya."

Home. [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora