Chapter 4

4.4K 582 37
                                    

"Ini bunga apa?"

"Anyelir."

Arsad menatap beberapa tangkai bunga yang ditaruh di dalam vas kaca yang diisi air. Vas ini baru karena kemarin tidak ada di sana. Tidak bertanya lagi, dia yang sudah mengenakan setelan rapi berjalan ke mesin pembuat kopi. Dia tidak terbiasa sarapan berat, cukup kopi dengan gula satu sendok teh. Pun sudah bilang ke Indira bahwa dia ingin membuat kopinya sendiri.

Memang sepele, secangkir kopi, tapi dia tidak ingin memiliki ketergantungan apa pun dengan Indira. Selama dia bisa mengerjakannya sendiri.

"Anyelir punya banyak warna, Ar. Mulai hari ini aku kasih bunga biar seger aja di mata. Kamu boleh request mau bunga apa buat selanjutnya."

Vas itu sengaja diletakkan di meja dekat dinding hingga cahaya matahari tidak terpapar langsung ke bunga-bunga itu. Arsad menoleh ke sana. "Cuma warna putih sama pink?"

"Ada enam, tapi setiap warna punya arti masing-masing. Aku pilih yang bagus artinya, sisa dari toko juga. Kamu mau nggak? Buat ditaruh di meja kerjamu."

"Nggak usah." Menunggu kopinya siap, Arsad beralih ke Indira yang sibuk mencicipi masakannya. Celemek berwarna pastel membungkus tubuh rampingnya. Harum masakan sejak tadi memenuhi area dapur. "Masak buat pegawaimu lagi?"

"Iya, minggu ini mereka mau ngirit, gajian buat nonton konser."

"Emang mereka nggak bisa masak?"

"Mereka udah kayak keluargaku."

"Semua orang kamu anggap keluarga. Memangnya mereka juga anggap kamu keluarga mereka?"

Indira mematikan kompor, tidak lekas menyahut padahal biasanya selalu merespons cepat. Arsad menatap keterdiaman istrinya. Tapi sial, matanya terlambat dialihkan saat Indira merasa diperhatikan dan pandangan mereka bertemu.

Ada kerlingan jail dalam sorot mata itu. "Ar, Ar, nggak perlu cemburu. Kamu tetap yang nomor satu."

Arsad berdeham, mengambil kopinya dan menyingkir dari dapur. Dia biasa meminum kopinya di halaman belakang yang berhadapan dengan kolam renang persegi yang tidak terlalu luas karena ketika membangun rumah ini, Arsad menempatkan kamar tamu secara terpisah dari bangunan utama.

"Kamu beneran nggak mau nyoba sarapan nasi? Semur dagingnya enak."

Membuka tabletnya, mengecek pekerjaan untuk hari ini. "Enggak."

Beberapa saat kemudian terdengar tawaran lain. Indira belum menyerah. "Bekal?"

"Aku bukan anak kecil."

Tidak ada sahutan lagi dan Arsad bisa fokus membaca email pekerjaan.

"Kenapa? Ada yang salah sama anak kecil?" Indira melongok di daun pintu, menampilkan cengiran tiap coba meruntuhkan manusia es itu. "Beberapa survey membuktikan, bahkan Naga, keluar sifat anak kecilnya setelah nikah. Kamu nggak perlu sungkan buat gitu juga. Sedingin apa pun kamu, pasti punya jiwa anak-anak. Aku nggak akan ngolok-olok kamu, justru seneng. Nggak ada yang salah bawa bekal sekalipun umur kamu udah enam puluh nanti."

"Kamu sebaiknya ngaca, Ndi. Siapa yang anak-anak di sini."

Indira mendecih. Lepas dari daun pintu, dia mendekat ke kursi karena masih ingin menggoda Arsad. Tangannya yang bersih mengusap kepala lelaki itu tanpa objek sempat menghindar atau menepisnya.

Untuk sesaat, dia membiarkan tangan Indira membelai rambutnya.

"Udah? Jiwa keibuan kamu terpenuhi, 'kan? Sekarang singkirin tangan kamu."

"Dulu sempat kepikiran nggak, kira-kira perempuan kayak apa yang bakal nikah sama kamu. Kalau kamu segalak ini."

Seseorang pernah mengatakan hal yang sama padanya. Arsad sayangnya tidak bisa menemuinya lagi di dunia ini.

Home. [End]Where stories live. Discover now