Chapter 06

128 10 1
                                    

"Gue anggap dia temen gak lebih!" seru Nara.

Arfan kurang mempercayai perkataan adiknya. Sepeduli ini Axilya Lenara pada Marva.

"Jangan tunjukan muka jutek!" tegur Nara.

Arfan tersenyum paksa. Gerbang rumah Marva dibuka oleh Nara. Lagi dan lagi rumah Marva sangat sepi, nyaris seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Beda dengan rumah Nara yang sangat ramai.

"Eh, Non Nara. Mau ke Den Marva ya? Ada di atas. Langsung naik aja seperti biasa," kata Pembantu Marva, Bi Safinah.

"Siap, Bi!" sahut Nara.

Kamar Marva ada di lantai dua, berada di jajaran pintu ke tiga. Tanpa mengetuk, Nara menyelonong masuk. Marva membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar.

"HAPPY BIRTHDAY MARVA!! KADONYA BIASA NYUSUL YA!" seru Nara gembira.

"Pasti minta ke Om Zaro dulu," tebak Marva terkekeh.

"Gue kan gak ada uang," balas Nara cengegesan.

"Selamat bertambah usia," timpal Arfan menyalami Marva.

"Makasih Bang," sahut Marva senang kakak sahabatnya datang.

"Gue transfer uangnya. Seperti biasa lo beli sendiri keinginan lo," tutur Arfan ringan.

Marva sudah terbiasa dengan Arfanello Cleon Hagne ini. Kakaknya Nara tidak pernah memberikan hadiah berupa barang melainkan uang dan nominalnya pun tidak sedikit. Ulang tahun kemarin Marva ditransfer uang sebesar dua puluh lima juta rupiah katanya untuk jajan.

"Ayo kita tiup lilin!" ajak Nara.

"Gue beli kuenya sesuai rasa kesukaan lo," ucap Marva memperlihatkan kue ulang tahunnya yang bertuliskan happy birthday to me dan sebuah lilin angka sesuai usia Marva.

"Kebiasaan padahal lo yang ulang tahun!" decak Nara memukul pelan bahu Marva.

"Biar lo juga makan."

Selalu alasan tersebut dikatakan oleh Marva. Mereka sama-sama meniup lilin tersebut, senyuman Marva sangat lebar dan begitu bahagia. Ada Nara merayakan ulang tahunnya itu sudah sangat membahagiakan bagi Marva.

"Gue ambil pisau dan minum sekaligus cemilan ke bawah. Kalian duduk-duduk santai aja di kursi balkon," ujar Marva.

"Okeh!"

Sedangkan Arfan memperhatikan tembok kamar Marva yang terpajang foto-foto bersama teman-temannya tapi lebih banyak foto bersama dengan Nara. Dalam pandangan Arfan, pasti Marva menaruh hati pada adiknya ini.

"Bang duduk. Gak pegel kaki lo berdiri mulu!" tegur Nara.

"Gue kuat," sahut Arfan.

Marva datang bersama Bi Safinah.

"Maaf ya tidak ada yang lain. Seadanya," kata Marva.

"Seadanya," cibir Nara.

Kata-katanya tidak pantas dengan banyaknya makanan yang dibawa. Ada anggur merah, mangga potong dingin, jus jeruk, camilan ringan, minuman kaleng dan kue-kue kering.

"Gak sebanding dengan yang ada di rumah lo," sahut Marva.

"Halah, roti hampir kadaluwarsa pun sekarang perut gue udah terbiasa," balas Nara tertawa pelan.

Perut Nara tidak semanja waktu itu. Semenjak dia tinggal sndirian apapun dia makan tanpa pilih-pilih yang penting layak.

"Bang di sekolah ada kejadian konyol. Rivalnya Nara anggap dia anak penjaga sekolah sampai diumumin tahu di depan murid lainnya!" adu Marva menepuk paha sambil tertawa renyah.

"Sialan, pada percaya?" tanya Arfan tergelak.

"Iya, Bang! Konyol parah. Dibully Nara di sekolah!" sahut Marva.

"Lawan dong," balas Arfan.

Nara mengigit kue kacang. "Santai dulu gak sih! Nanti pas gue buka identitas pada syok berat terus so pura-pura baik kan kurang seru!"

"Masa sekolah perlu mencari pengalaman!" tutur Nara santai dan menikmati identitasnya sebagai Nara bukan Axilya.

"Mereka tahunya gue orang gak punya padahal motor tinggal beli, mau mobil tinggal tunjuk. Butuh duit tinggal tarik," ungkap Nara pongah.

"Gayanya selangit," decak Arfan.

"Gue sombong karena fakta!"

Marva tertawa mendengar pembicaraan kakak beradik tersebut. Suasana rumahnya ramai dengan kehadiran mereka. Ketiganya berbincang sampai larut malam.

Marva menahan kepala Nara, gadis tersebut sudah mengantuk.

"Kita balik deh," ucap Arfan.

"Tolong taruh dia di punggung gue."

"Biar gue anter pulang aja," sahut Marva.

"Rumahnya deket. Kagak usah mending lo beresin ini terus tidur. Besok lo masih harus pergi ke sekolah," balas Arfan cepat.

Arfan menggendong Nara yang setengah mengantuk tersebut.

"Balik ya!" seru Arfan.

"Hati-hati Bang! Makasih udah datang," sahut Marva.

Marva mengantarkan sampai depan gerbang rumah dan menatap kepergian kakak beradik tersebut yang rumahnya terpisah oleh jalan besar.

Arfan membenarkan posisi gendongannya dan menurunkan Nara pelan-pelan ke kasur. Dia menyelimuti adiknya itu.

"Ocil," panggil Arfan.

"Apa?" tanya Nara pelan.

Arfan mengusap kepala Nara lembut. "Lo jangan pergi ke rumah Marva sendirian. Harus ditemani gue atau Bais, atau Yash. Pokoknya jangan sendirian termasuk sama Kenanga," ucap Arfan bersungguh-sungguh.

"Kenapa?" tanya Nara mengerutkan kening.

"Pokoknya nurut kata gue," pinta Arfan.

Nara mengangguk dengan ekspresi lucu.

"Anak pintar dan manis," puji Arfan mencubit pipinya.

Arfan memperhatikan wajah cantik adiknya. Sebagai seorang laki-laki dia sadar penuh dengan tatapan yang diberikan oleh Marva pada adiknya. Bukan dia tidak mempercayai Marva hanya sebagai kakak dia tidak mau hal yang tidak diinginkan terjadi.

Sekali lagi Arfan pertegas, dia laki-laki tahu bagaimana mata dan isi otak laki-laki.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Nov 18, 2023 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

GADIS RUBAH Onde histórias criam vida. Descubra agora