INZ - 17

4K 300 5
                                    

Setelah mendapat kabar Kaivan telah kembali, Adeline segera mengantar Kaira untuk pulang. Sebenarnya Adeline ingin berlama-lama bersama Kaira, sayangnya dia tak bisa egois, pasti Kaivan akan marah jika Kaira tak segera diantar pulang.

Di sinilah mereka bertiga, di salah satu pedagang kaki lima. Kaira meminta Kaivan serta Adeline untuk menemaninya, Kaivan sedikit ragu dengan permintaan adiknya kepada Adeline. Namun ternyata tanpa ragu Adeline menerima ajakan Kaira, tidak seperti yang Kaivan pikirkan.

Kaira senang karena tidak merasa kesepian lagi, dan entah kenapa dia semakin egois dengan berharap sang kakak dan Adeline dapat menjadi sepasang kekasih agar mereka terus bersama. Kaira sadar Kaivan pasti tak akan mudah menerima, tetapi Kaira juga yakin Kaivan akan menyadari kebaikan Adeline

Entah perasaan Kaira atau bagaimana. Entah kenapa Kaira melihat Adeline menatap Kaivan dengan pandangan berbeda, tetapi Kaira tidak bisa mengartikan tatapan itu. Hanya saja Kaira merasa Adeline menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa melamun?" Adeline menyentuh bahu Kaira, menyadari gadis itu sejak tadi diam dengan tatapan kosong.

"Hehe gak Kak." Kaira langsung melahap cepat makanannya. Tak ingin ditanyai lebih jauh oleh Adeline, tetapi Adeline merasakan ada yang berbeda dengan Kaira. Begitu pun Kaivan yang sejak tadi hanya diam sambil memperhatikan interaksi kedua gadis di depannya.

****

"Kakak enggak ada rasa gitu sama Kak Adeline?" Kaivan yang sedang mencuci motor kesayangannya langsung menoleh menatap sang adik yang bertanya tiba-tiba.

"Kak!" rengek Kaira karena tak mendapat jawaban dari Kaivan.

"Enggak," balas Kaivan singkat. Tampak tidak suka dengan pertanyaan Kaira. Kaira merengut sebal, tetapi tetap menerima jawaban Kaivan.

Dia memerhatikan Kaivan. Merasa iba dengan sang kakak yang bekerja begitu keras untuk menghidupinya. Kaira merasa bersalah, sekaligus rindu dengan ibu mereka.

Kaira sering bertanya-tanya, apakah ibunya tidak ingin bertemu dengannya. Sayangnya itulah kenyataannya, sampai saat ini bahkan Saras sang ibu tidak pernah datang menemuinya. Kaira menjadi murung karena hal itu, semua itu tidak luput dari perhatian Kaivan yang malah salah paham, mengira Kaira kecewa karena jawabannya tadi.

Kaivan memilih masuk ke dalam rumah, meninggalkan Kaira sendiri. Kaivan kembali merasa bersalah, karena kembali tidak dapat membuat adik satu-satunya bahagia.

***

Adeline bersorak senang saat Vion datang dengan beberapa kantong belanja di kedua tangannya. Yang lebih membuatnya bahagia saat sopir sepupunya itu masuk dengan membawakan es krim yang sangat banyak, yang sudah pasti pesanan Adeline.

Vion memang terkesan cuek dan tak peduli, tetapi Vion selalu menunjukkan kebaikannya dengan aksi berbeda dengan andrew yang sering berbicara manis.

"Makasih!" Adeline mengecut pipi kiri Vion membuat sang empunya tersentak kaget, tetapi setelah itu berusaha menormalkan mimik wajahnya.

Adeline merasa tak peduli, dia duduk di atas sofa sambil mengeluarkan semua es krim pemberian Vion. Vion ikut duduk di samping gadis itu, memperhatikan Adeline yang tampak begitu antuasias.

"Kalau kakak kayak gini aku seneng loh, sering-sering ya?" Vion berdecak sebal mendengar ucapan Adeline. Walau begitu akhirnya dia mengangguk dengan terpaksa.

"Tumben Kak Andrew gak ke sini?" tanyanya penasaran. Karena biasanya yang paling rajin mengunjungi Adeline adalah Andrew, sepupunya itu memang selalu pengertian. Walau kali ini Adeline akui Vion lebih baik lagi.

"Enggak tau," jawab Vion. Vion menggeser tubuhnya, merebahkan dirinya di sofa.

"Gimana sih jadi saudara, saudaranya pergi enggak tau!"

"Emang lo tau?" Vion menaikkan dagu serta alisnya menatap Adeline yang langsung salah tingkah.

"Hehe enggak," jawab Adeline.

"Lagian tu anak udah gede, biarin aja." Vion memilih memejamkan matanya karena mengantuk, tak peduli dengan ocehan tak jelas Adeline.

Vion merasa kelelahan karena beberapa hal, salah satunya adalah kisah asmaranya yang sering sekali tak berjalan sesuai rencana, walau begitu Vion berusaha menghadapi.

"Kak Vion!" Adeline menarik kaki Vion agar pemuda itu segera bangun. Vion tak menanggapi, memilih mendalami peran pura-pura tertidur lelap.

Adelina menyerah, dia menyenderkan tubuhnya ke sofa sambil memakan es krim. Tetapi pikirannya berkelana ke mana-mana, lebih tepatnya kepada kehidupan awalnya dulu.

Adeline penasaran, bagaimana keadaan Anya. Apakah sekarang kehidupannya dulu masih berjalan, apakah Anya masih menjalankan hukumannya. Tanpa Adeline ketahui jika Anya sebenarnya sudah tiada. Meninggalkan dunianya dulu, Adeline juga merasakan meninggalkan banyak hal yang belum selesai, termasuk hubungannya dengan kedua kakaknya.

Walau begitu Adeline tidak begitu menyesal, dia merasa beruntung berada di sini. Anya menoleh menatap Vion, dia juga merasa beruntung saat tuhan memberikannya orang-orang yang tak pernah dia dapati dulu. Kasih sayang yang selalu dia anggap mustahil kali ini menjadi kenyataan.

Adeline tersenyum puas, bukankah akan lebih baik dia menikmati kebahagiaan yang mungkin saja tak datang kedua kalinya di masa depan. Lagi pula Adeline tak ingin merasa menyesal, seperti dulu dirinya begitu menyesal.

Adeline akan menikmati perannya, menikmati segala yang sudah ditakdirkan untuknya. Walau bukan menjadi peran utama, Adeline yakin pasti dia dapat lebih bahagia di sini. Begitulah yang dipikirkan Adeline saat ini, dengan harapan semua itu benar adanya.

Walau sebenarnya tidak ada kehidupan yang mulus. Pasti ada beberapa kerikil yang menghadang perjalanan. Siap tidak siap, Adeline pasti suatu saat nanti menjalankan apa yang sudah tuhan takdirkan untuknya, tanpa terkecuali.

Hai
Udah lama banget nih enggak update. Makasih yang udah nungguin aku, love you guys.

Jangan lupa vote dan komen.

I'm Not Zora (Transmigrasi)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora