INZ - 16

4.3K 335 12
                                    

Adeline benar-benar banyak menghabiskan waktu bersama Kaira. Dia manfaatkan waktu mereka berdua dengan saling mengobrol dan mendengarkan Kaira yang sangat antusias menceritakan semua yang terjadi di sekolahnya.

Karena kedatangan Kaira, Adeline benar-benar melupakan keberadaan kedua sepupunya yang masih berada di ruang keluarga. Namun, keduanya memilih tak mengganggu, apa lagi dengan keberadaan Kaira. Andrew dan Vion takut malah membuat Kaira tidak nyaman. Walau sebenarnya mereka penasaran sebenarnya siapa yang Adeline bawa ke rumah.

Di lain sisi. Kaivan menemui ibunya, atau lebih tepatnya seorang wanita yang melahirkannya. Wanita yang membuatnya terluka, wanita yang sukses membuat hidup Kaivan terasa jungkir balik.

Bagaimana tidak, ibunya membuat Kaivan dan sang adik dalam posisi seperti ini. Posisi yang membuat Kaivan semakin sadar, jika tidak ada seorang yang dapat dia percaya. Bahkan seorang wanita yang melahirkannya sekali pun.

Kaivan hanya menatap datar pada sosok wanita yang masih tampak cantik diumurnya yang sudah pasti tidaklah muda lagi. Sayangnya Kaivan sama sekali tak mengagumi itu, apa lagi setelah kalimat itu ke luar dari bibir wanita berpenampilan glamor itu.

"Berikan Kaira pada saya, dan saya tidak akan menganggu kehidupan kamu."

Kaivan tak habis pikir dengan kalimat itu. Kalimat seolah menggambarkan Kaivan merupakan orang asing, bukan seorang anak yang lahir dari rahim wanita di depannya itu.

"Kaira sudah bahagia bersama saya," balas Kaivan. Mati-matian menahan dirinya agar tidak pergi dari sana.

"Kamu jauh-jauh ke sini, bukankah memang benar-benar berniat menemui saya? Lalu apa alasan kamu menolak, apa lagi dengan keadaan kamu yang benar-benar bisa dikatakan serba kekurangan. Memangnya apa yang kamu andalkan untuk menghidupi Kaira?" Wanita dengan dress mewah yang membungkus tubuhnya itu mengangkat dagunya, cukup menggambarkan bagaimana keangkuhan ibu dari dua anak itu.

"Kaira bahagia bersama saya, saya bisa menjaga Kaira, sekalipun saya orang miskin." Kaivan membalas dengan dingin.

"Lagi pula, kenapa baru sekarang anda memperdulikan adik saya?" tanya Kaivan. Dalam hati dia khawatir, mau bagaimana pun dia tak ingin Kaira jatuh pada orang yang salah. Sekali pun itu adalah ibu mereka.

"Saya ibunya, itu hak saya," balas Saras. Dia bahkan sama sekali tak menatap pemuda di depannya dengan kasih sayang. Benar-benar seperti bukan dia yang melahirkan pemuda di depannya.

"Kaira tetap tinggal bersama saya, mah bagaimana pun kondisinya." Kaivan bangkit, dia ingin pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Saras kembali terdengar.

"Kamu tau ayahmu itu mati karena miskin, jadi kamu menginginkan hal seperti itu terjadi kepada adikmu?" Kaivan mengepalkan tangannya, menahan amarah yang bergejolak di dalam dadanya.

"Jadi serahkan Kaira kepada saya, saya jamin Kaira tidak pernah kekurangan apa pun."

"Termasuk kasih sayang?" Kaivan memotong ucapan Saras, dan membalikkan tubuhnya menatap Saras yang masih menatapnya penuh keangkuhan.

"Tanpa anda suruh, saya berusaha agar adik saya tidak kekurangan apa pun. Entah itu uang, bahkan kasih sayang dari seorang kakak. Tidak peduli dia tidak menerima kasih sayang dari seorang ibu. Saya kakaknya, saya akan menyayangi dan menjaganya dengan sepenuh hati saya!" Saras tertawa, berjalan dengan anggun mendekat pada Kaivan.

Wajah Kaivan memerah, dia mati-matian menahan diri. Mau bagaimana pun di depannya ini adalah ibunya.

"Kasih sayang?" Saras tertawa keras. Dia mendorong kepala Kaivan dengan telunjuknya.

"Pakai otak kamu, kasih sayang saja tidak cukup untuk bikin adik kamu kenyang!" Kaivan diam saja, menatap sang ibu dengan tatapan penuh kekecewaan.

"Lihat ayah kamu, dia mati walau kalian menyayangi dia!" Kaivan menepis tangan Saras saat kembali akan mendorong kepalanya.

"Itu semua takdir!" teriak Kaivan. Dada Kaivan kembang kempis, wajahnya memerah dan tangannya mengepal erat. Dia benar-benar merasa marah dengan ucapan-ucapan yang benar-benar melukai perasaannya.

"Takdir?" Saras tersenyum sinis.

"Jadi jika suatu saat nanti ad perempuan yang meninggalkan kamu pun takdir? Siapa yang betah dengan lelaki miskin seperti kamu, kamu sama saja seperti ayahmu!" ucap Saras menohok.

"Semua wanita di dunia ini butuh uang, tidak perlu dengan omong kosong yang bahkan tidak bisa bikin kenyang. Dari itu sadar diri, sebelumnya berikan Kaira pada saya. Biarkan dia menjadi orang kaya, tidak seperti kamu!" Kaivan membalikkan tubuhnya, memilih tak menghiraukan.

Dia ke luar dari rumah mewah itu. Sayangnya rumah mewah yang bahkan membuatnya benar-benar merasakan akan kesakitan. Kaivan meninggal rumah besar itu dengan langkah lebar. Dia kembali menyesali keputusannya. Andai saja dia memilih untuk tidak datang, mungkin rasanya tidak semenyakitkan ini.

Karena itu Kaivan memilih untuk menitipkan Kaira sementara waktu. Saat ini dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Apa lagi saat melihat wajah sang adik, Kaivan merasa benar-benar bersalah. Benarkah selama ini Kaira menderita tinggal bersama dengannya? Apakah benar Kaira akan bahagia jika tinggal bersama ibu mereka.

Kaivan tidak tau, tak ada jawaban dalam hatinya. Selain menyalahkan dirinya sendiri yang terlahir dalam keadaan yang rumit ini. Keadaan yang membuatnya semakin trauma dengan semua orang, termasuk Adeline.

Kaivan terus bertanya dalam hati. Benarkah semua orang tidak dapat menerimanya, seperti sang ibu yang tidak bisa menerima darah dagingnya sendiri demi kemerlap harta. Kaivan butuh jawaban akan hal itu.

Huhu aku gabisa mikir guys. Gatau seberapa lama aku update. Maaf banget ya, aku harap masih banyak yang nungguin ya. Termasuk nunggu 'Antagonis yang Terbuang' untuk terbit. Makasih suport kalian semua.

Love you guys! Jangan lupa jaga kesehatan, dan komen loh hehe.

Ditunggu komen kalian!

I'm Not Zora (Transmigrasi)Where stories live. Discover now