INZ - 2

13.6K 1K 73
                                    

Selama berada di sini ditubuh Adeline, Zora menghabiskan waktu dengan menonton film atau memakan sebanyak yang dia mau. Dan yang lebih membuatnya senang adalah ibu Adeline yang ternyata tidak bekerja dan memilih berada di rumah. Karena itu Zora tak begitu merasa kesepian.

Zora tersenyum senang saat melihat ibu Adeline berlalu lalang di hadapannya dengan berbagai kegiatan. Ibu Adeline terlihat begitu sibuk dengan urusannya saat ini

"Iya Pa tenang aja aku enggak bakal lupain Adeline karena sibuk. Udah mama lagi males telponan!" Zora terkikik geli melihat ibu Adeline yang terlihat sangat kesal setelah ditelpon suaminya.

"Ada-ada aja papa kamu bilangin mama lupa sama kamu. Mama sibuk mah masih inget sama anak mama yang satu ini." Maya sang ibu menggerutu di hadapan Zora yang berada ditubuh Adeline saat ini

"Adeline kamu kok belum habisin makanannya?" Zora menggeleng sambil menyengir lebar.

"Adeline udah kenyang," balasnya.

Zora atau yang saat ini adalah Adeline memang dituntut untuk makan lebih banyak dari sang ibu. Bukan karena tanpa alasan, Adeline yang baru saja pulih membutuhkan banyak nutrisi.

"Adeline beberapa hari lagi kamu mulai sekolah, kamu enggak keberatan?" Zora atau Adeline menunduk berpikir tentang keputusan yang dia ambil.

Saat sedang menjadi Zora masa sekolahnya hanya menyenangkan saat dia bertemu dengan Dira atau pun Gazza, setelah itu tidak ada yang istimewa. Apa lagi kenyataan jika hampir semua murid membencinya.

"Yuhu spada!" Adeline memutar tubuhnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa pria tampan masuk ke dalam rumahnya. Tentu saja sebagai Zora dia tak mengenal mereka semua.

"Tante," sapa mereka pada Maya.

"Kalian ini janji ke sini kapan baru dateng sekarang?" Seorang pemuda dengan kemeja rapi putih itu tertawa malu.

"Adeline?" Adeline menegakkan tubuhnya. Dia menatap mereka satu persatu, hingga matanya bertubrukan dengan mata tajam seseorang yang sejak tadi tak menunjukkan keramahan.

"Kamu beneran lupain kami semua?" Pemuda yang sedang memakai kemeja dengan wajah lembut tampak khawatir terhadapnya.

Adeline yang saat ini berisi jiwa Zora tentu merasa asing. Bahkan dia menatap pemuda di depannya dengan tatapan penuh harap, berharap jika semua ini bukanlah mimpi.

"Tapi sekarang kamu baik-baik ajakan?" Setelah melihat anggukan dari Adeline pria itu masih tampak begitu khawatir.

"Baik," jawab Adeline gugup.

Selama menjadi Zora memang dia selalu dikelilingi pria-pria tampan, tetapi kali ini berbeda. Tatapan mereka menunjukkan kasih sayang yang besar untuk Adeline, dan itu begitu asing untuk Zora.

"Mereka saudara kamu, Adeline." Adeline menatap sang mama dengan tatapan tak percaya. Pantas saja terlihat akrab, ternyata mereka semua adalahh saudaranya.

"Perkenalkan aku Haidar, kakak sepupu kamu yang paling tua." Haidar seorang pemuda yang memakai kemeja rapi itu lebih dulu angkat bicara.

"Gue Andrew, adiknya Haidar yang paling tampan." Pemuda yang bernama Andrew itu menyingkirkan Haidar hingga sang empunya hampir terjungkal. Adeline tertawa melihat interaksi mereka, selain.....

"Vion." Adeline mengangguk canggung. Merasa tak enak dengan ekspresi Vion yang seperti tidak menyukainya.

"Mereka ini sepupu kamu." Adeline tersenyum kepala mereka lalu beralih pada Maya yang berlalu ke belakang sepertinya membuatkan minuman.

Adeline gugup, berada di tengah-tengah orang asing yang baru saja dikatakan sebagai saudaranya sungguh hal yang aneh. Apa lagi kenyataan tentang dirinya bukanlah Adeline, bagaimana jika mereka tau jika jiwa Adeline entah sudah pergi ke mana.

"Kamu kapan masuk sekolah lagi?" Haidar kembali bertanya. Memang sepertinya dari mereka semua Haidar ini yang paling terlihat dewasa dan begitu menyayanginya Adeline.

"Mungkin beberapa hari lagi, setelah mama izinin." Haidar mengangguk paham.

"Lo bareng gue, ya?!" Zora tersentak kaget saat Andrew duduk di sebelahnya tanpa permisi, yang lebih parahnya duduknya saja begitu heboh.

"Kalau sekolah bareng gue dijamin aman, walau sebelumnya lo selalu ngajak ribut kalau gue ngajak bareng." Adeline mengangguk dengan senyum tipis membalas repons Andrew yang begitu tampak antusias. Berbeda dengan Haidar yang terkesan lembut dan hati-hati.

Adeline melirik ke arah Vion, dan sialnya Andrew menyadari itu. "Kalau Vion mah jangan dideketin, sombong dia!" Terlihat Vion yang menatap sinis ke arah Andrew yang sibuk tertawa cukup keras sambil memegangi perutnya.

Canggung, tetapi menyenangkan. Adeline tak tau cara menjelaskan tepatnya bagaimana. Yang pasti dia merasa suasana ini begitu asing, namun dia cukup menikmatinya dan merasa ikut senang.

Apa lagi dengan Andrew yang sepertinya sangat asik jika diajak mengobrol, walau sedikit menyebalkan. Namun, tidak masalah sepertinya Adeline butuh seseorang yang menyebalkan untuk membuatnya tidak cepat terlihat tua.

"Lo tenang aja, sebagai abang yang baik gue bakal jagain lo. Lo tau ga, sebelumnya kita itu deket banget loh." Adeline tampak minat dengan arah pembicaraan Andrew.

"Lo itu manja banget ke kita, kecuali dia sih." Lagi-lagi tatapan sinis Vion dilayangkan pada sang pelaku yang membuatnya kesal.

"Deket juga, cuma dia cuek banget kayak cewek PMS." Kali ini wajah tampan Andrew tak selamat. Tanpa rasa kasihan Vion melempar wajah Andrew dengan bantal hingga Andrew hampir terjungkal.

"Muka gue!"

Adeline tertawa melihat interaksi mereka semua. Sebenarnya Adeline lihat Vion tidak begitu menyeramkan, malah sosok Vion ini menambah nilai plus mereka bertiga. Contohnya menjadi sasaran bully Andrew yang tidak merasa takut.

"Mereka emang gitu." Adeline menatap ke arah Haidar yang tersenyum lembut ke arahnya.

Entah kenapa saat melihat Haidar Adeline merasa dia melihat Raffael saat menjadi Zora dulu. Dia merasakan sosok kakak dalam diri Haidar.

"Kamu istirahat, kita mau nemuin tante dulu." Haidar mengelus pucuk kepala Adeline, lalu menarik paksa Andrew yang masih sibuk menarik perhatian Vion yang tampak cuek.

"Cepet sembuh." Tubuh Zora menegang saat Vion sebelum pergi menyentuh pucuk kepalanya.

Sama dengan Haidar, namun kenapa Adeline merasakan sensasi yang berbeda. Dia menatap ketiga pemuda yang semakin hilang dari pandangannya, lalu tersenyum bahagia setelah itu.

"Ternyata jadi Adeline lebih baik," ucapnya penuh kebahagiaan.

Walau sebenarnya takdir itu bukan diciptakan manusia. Tuhan sudah menentukan masing-masing takdir pada pemiliknya. Lalu pemiliknya hanya mampu berharap dan berjalan sesuai yang sudah ditentukan.

Mungkinkah menjadi Adeline adalah sebuah jawaban atas doa-doanya. Atau bahkan sebaliknya, dia berada di sini untuk menuntaskan sesuatu yang Adeline sendiri tak bisa menuntaskannya.

"Awal bahagia bukan berarti menjadi akhir yang bahagia."

Adeline menunduk, menatap bantal yang tergeletak di lantai karena ulah Vion.

"Bisa aku berharap sama semua kebahagiaan ini, Tuhan?" tanya Adeline dengan suara lirih.

Yuhu!

Pada nungguin ya?

Tencu atas dukungan kalian semua.
Rencananya aku bakal double up tapi belum tau kapan. Insya Allah ya kalau aku enggak ada urusan yang mendadak.

Yuk vote, komen, dan share.

Kalian juga bisa mampir ke Instagram aku @dillamckz ya untuk info atau sekadar sapa.

Tencuuuuuu

I'm Not Zora (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang