19

133 17 6
                                    

Puas menangis seharian, akhirnya perut Ella keroncongan. Ella lapar. Tapi ia malu mengakui itu ke Ajik saat ini. Jadi Ella hanya memegang perutnya dan berharap Ajik paham melihat Ella memegang perut.

"Mbak lapar?" Akhirnya Ajik melihat kode yang diberikan setelah Ajik sibuk memeriksa sekaligus mengganti perban di tangan Ella dan merapikan selang oksigen. Ella tak lagi memakai selang oksigen dan selang infusan. Lagipula keadaan Ella sudah membaik walau kini hatinya sedang hancur.

"Yaudah makan di bawah yuk Mbak, saya siapin ya." Ajak Ajik.

"Tapi," Ella menggigit bibir bawahnya, "mau makan warteg di tempat Mbak mu."

Mendengar itu Ajik tertawa, "wah, kangen masakan Mbakku toh. Tapi warteg Mbakku jauh dari sini. Nanti Mbak malah tambah laper kalau nggak makan cepet-cepet. Makan di sini dulu aja ya. Mumpung koki belum balik."

Di rumah utama Ken memiliki koki harian untuk memasak.

Pada akhirnya Ajik membawa Ella ke ruang makan yang berada di bawah. Beruntung koki hariannya belum pulang jadi Ajik bisa meminta koki untuk membuatkan makanan untuk Ella.

"Ken nggak keliatan, ke mana dia?" Tanya Ella setelah matanya menyapu keadaan sekitar. Rumah utama tanpak sepi tanpa si pemilik rumah.

Sejak pulang dari rumah sakit, Ken tak banyak berbicara padanya. Mungkin karena Ella terlalu asik menangis sendirian sehingga Ken memberi ruang untuknya. Lalu Ajik muncul untuk merapikan alat medis di kamar dan membantu mengganti perban Ella.

"Katanya lagi ada kerjaan," jawab Ajik. Tak lama makanan dihidangkan. Ajik membantu lagi untuk menyendok nasi dan lauk pauk di piring Ella.

"Oh iya? Selama di sini aku nggak pernah lihat Ken berangkat atau pulang bekerja." Ella menambahkan, "sebenarnya Ken itu kerja di kantor mana?"

Sebelum menjawab, Ajik tertawa lagi. "Mbak Ella pikir Bang Ken kerja kantoran?"

"Terus apa dong? Apa jangan-jangan dia beneran mafia?" Ella menodong dugaan yang selama ini tertanam di kepala. Pria itu akan selalu muncul di hidupnya dalam sebuah masalah besar. Bukan muncul sebagai pria kantoran.

Tampangnya yang berbahaya dan dingin dengan setelan pakaian lengkap sampai ia mengenakan jas kebesaran membalut punggung tegapnya, akan terlihat aneh kalau Ken disebut sebagai pria kantoran yang bekerja di gedung besar.

"Waduh bahasanya berat amat," lagi dan lagi Ajik tertawa. "Saya sebetulnya nggak paham soal itu Mbak. Yang saya tau saya kenal Bang Ken karena suka datang ke markas dan bagi-bagiin senjata ke kami."

"Ken buka bisnis senjata, begitu?" Ella mencondongkan badan lalu melahap makanannya. Masakan koki harian ini sangat enak. Bahkan rasanya lebih enak dari masakan Ella.

"Saya beneran nggak paham Mbak, ya g saya tau segitu aja," Ella menangkap sesuatu yang sengaja disembunyikan Ajik. Tapi Ajik tetap terlihat tenang. "Kalau mau, Mbak tanya langsung aja sama Bang Ken."

Ella menghela napas pelan, "dia kan nggak di sini. Mau nanyanya gimana coba?"

"Aku di sini, mau tanya apa?"

Seperti hantu yang datang tak diundang, Ella dan Ajik dikagetkan dengan kehadiran Ken yang begitu tiba-tiba. Seperti biasa, penampilannya yang selalu rapi dan jas kebesarannya, Ken menarik kursi di dekat Ella dan memberi isyarat pada koki harian untuk membuatkan makanan yang Ken mau.

Ajik meninggalkan Ella dan Ken berdua setelah rekan premannya memanggilnya untuk balik ke markas.

Kini suasana berubah hening, kegiatan makan Ella berhenti karena mengamati Ken sibuk memegang iPad nya. Sementara Ella memilih untuk bertanya-tanya di kepala walau ia tidak menemukan jawaban yang pasti.

Taste RelieverWhere stories live. Discover now