09

101 11 1
                                    

Janu lebih suka bermain dengan anak kesayangannya ketimbang harus menguras tenaga hanya untuk menjatuhkan lawan. Baginya, pisau adalah mainan yang mneyenangkan. Selain menusuk, anak kesayangannya dapat mengorek apapun yang Janu inginkan. Entah mengorek organ dalam, bahkan kepala sekalipun. Meski Janu belum pernah mengorek kepala seseorang menggunakan mainannya.

Tapi kali ini lawannya cuma seekor curut. Tinggal dihajar dan diinjak saja, lawannya sudah tidak berkutik. Tapi tetap saja membuat Janu kewalahan.

Seperti saat ini. Lawannya yang terakhir sudah tergeletak tak berdaya di kaki Janu. Janu menatapnya pongah, tak ada keibaan.

Seta dan Amar mendekati Janu setelah mereka juga turut menjatuhkan lawan milik mereka. Sementara Ken dan Ali berdiri tak jauh dari posisi mereka. Diam menyaksikan betapa asiknya tiga pria itu melawan beberapa sekawanan orang yang sempat menghalangi mereka.

Mereka berada di daerah asing yang sulit terjangkau maps. Di pinggiran kota yang hanya dikelilingi sawah dan pepohonan rimbun. Suara jangkrik mengisi kekosongan malam, menandakan pekat malam semakin larut. Bulan pun juga terlihat terang di sana. Menerangi kegiatan mereka saat ini.

Janu yang masih menginjak tubuh lawan mengamati keadaan sekitar. Mereka yang sudah tergeletak tak berdaya terdapat tato panah yang terukir di lengan kanan mereka. Menandakan bahwa mereka bagian dari Panah Besi.

"Bosan sekali." Ken mendengus. Pemimpin Panah Besi lagi-lagi hanya menggertaknya saja. Ken pikir dengan kedatangannya ke tempat kumuh ini bisa membawanya menemui pria tua berbau tanah itu—Bang Bob. Entah nantinya mereka akan saling berbicara atau saling menumbangkan satu sama lain. Tapi nyatanya Ken cuma berurusan sama anak buahnya yang payah. Ken makin muak.

"Balik. Buang-buang waktu."

Saat Ali memberikan sebuah titik kordinat sebelumnya, Ken memerintahkan mereka untuk ikut pergi bersamanya. Selama di perjalanan mereka hanya saling diam. Suara serak radio mengisi perjalanan mereka. Menjaga kondisi dan suasana. Tapi suasana tidak seperti biasanya. Ken banyak menggertakkan gigi. Deru napasnya berhembus berat. Janu dan Seta melihat hal yang tak wajar itu. Sementara Amar sibuk menyetir dan Ali sibuk mengarahkan Amar.

Tapi pada saat mereka tiba, mereka hanya dikepung anak buah Bang Bob. Dan seperti biasa, Bang Bob tidak menunjukkan batang hidungnya. Entah ia kabur atau memang pria tua itu tidak ada di sana dari awal.

"Siapa yang pengecut sekarang?" Ken ingin mengamuk, tapi ia tahan. Ia memilih mengatur napasnya sebisa mungkin. Memejamkan mata sejenak dan memikirkan rencana berikutnya untuk membalas permainan Bang Bob.

Ken tidak bisa seperti ini terus. Ken ingin segera mengakhirinya. Ia lelah mengejar dan dikejar. Tujuannya saat ini langsung berubah—membinasakan Bang Bob dengan tangannya sendiri. Tanpa memandang bulu lagi.

Tapi di satu sisi, Ken masih merasa berat. Hati kecilnya berat. Ia—seperti belum siap.

Sekarang ia mempertanyakan dirinya sendiri, dalam benaknya, apa ia bisa? Apa ini semua akan segera berakhir kalau—

"Anda mau makan sesuatu?" Ali membuyarkan lamunan Ken. Mobil mereka sudah berhenti di tempat peristirahatan. Malam semakin larut, para pria kecuali Ken mulai mengeluh kantuk. Jadi mereka menepi dan menikmati kopi masing-masing.

"Aku tidak lapar." Ken menghela napas, "kau saja yang makan sama yang lain. Aku di sini saja."

Ali tak lagi berbicara dan keluar mobil. Ia sendiri juga butuh kopi untuk menahan rasa kantuk. Tapi Ali akan tetap membelikan kopi untuknya. Ali tahu Ken lagi banyak pikiran. Meski ia tidak tahu apa yang Ken pikirkan sekarang.

Menjadi tangan kanan Ken tidak menjadikan dirinya sebagai tempat mencurahkan emosinya.

Ali harus memaklumi itu.

Taste RelieverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang