4. JENGGALA

395 72 23
                                    

Desir angin terdengar lembut di telinga Lemba, dia tengah duduk di pelataran rumah yang sudah didirikan tenda. Angin hari ini cukup kencang, membuat helai rambut Lemba tersibak dan sesekali ia rapikan. Lemba terlihat tenang menikmati hawa sejuk, padahal matanya tidak lepas dari Bayung yang sedang asyik bermain dengan beberapa remaja seumurannya—bermain layangan.

"Lemba, bantu Pakde angkat meja di dalem, yuk?" Ajak Pakde sambil menarik tangannya.

Tangan yang sudah ditarik lebih dulu membuat Lemba tak bisa menolak. Dia berdiri, sebelum beranjak pergi, sempat menatap Bayung sekilas.

Sofa dan meja di ruang tamu terpaksa di keluarkan, untuk dijadikan sebagai tempat akad nikah nantinya. Beberapa orang yang bersiap untuk mendekorasi juga turut membantu. Tidak ada yang bersantai karena hari pernikahan tinggal tiga hari lagi.

"Lemba, makan dulu," Mega meminta Lemba ke belakang setelah selesai membantu Pakde dan beberapa orang lainnya, Lemba mengangguk, berjalan mengikuti ibunya. Ruangan dapur sudah dipadati beberapa tetangga yang sibuk mengemasi makanan sebagai bingkisan untuk mengundang warga di pulau. Jadi, Lemba terlambat makan siang dan dia perlu makan di belakang rumah, di bawah tenda yang didirikan seminggu lalu.

"Ini anakmu, Mega?" Tanya salah satu Ibu-Ibu yang sedang di belakang rumah—menanak nasi.

Mega mengangguk. "Iya, namanya Lemba."

Lemba sendiri langsung tersenyum menatap sekilas, dia menerima piring yang sudah diisi nasi dan beberapa lauk-pauk.

Ibu-ibu yang lain berdecak kagum, salah satu di antaranya menceletuk. "Mbak Mega, anaknya sudah menikah belum? Dijodohkan saja itu sama anaknya Mbak Yanti, si Adindra."

Makanan yang sedang Lemba santap terasa hambar, dia tetap terlihat menikmati untuk menghargai sang ibu.

Mega terkekeh. "Haduh, tidak ah, Mbak Yanti 'kan orang terhormat, apalah keluarga saya. Lemba juga bekerja hanya di percetakan, bukan pengusaha besar."

Lemba tahu maksud dari jawaban Ibu-nya bukanlah betulan merendah diri, hanya menolak secara halus.

"Aku sih gak masalah," ucap Yanti, wanita yang tengah sedang menanak nasi. "Adindra juga bukan perempuan yang melihat pria dari harta, itu bisa dicari Meg,"

Wanita cantik yang duduk di antara ibu-ibu lainnya menunduk malu, tersenyum tipis sambil membantu mengupas bahan makanan, sesekali mencuri pandang kepadanya. Lemba menatap makanannya lagi, dia tidak peduli.

Mega tersenyum tipis, mengusap puncak kepala Lemba. "Yah lihat ke depannya saja. Lemba masih ingin mencari jati diri."

Lemba menyantap satu suapan terakhir, dia mendorong sedikit piring bekasnya. "Bu, Lemba pergi sebentar boleh?"

"Ke mana?" Mega meraih piringannya, menatap Lemba dengan bingung, pasalnya Lemba baru tiba dan sudah berani pergi.

"Berkeliling, bersama Bayung." Mendengar siapa yang Lemba bawa, Mega mengangguk. Mereka akan saling menjaga jika pergi bersama.

***

Kakinya melangkah cepat keluar dari rumah, menghampiri Wiyata yang tengah mengobrol sambil menyesap kopi. "Pak, Lemba bawa sampan ya?"

"Eh, mau ke mana?"

"Keliling sama Bayung,"

Wiyata mengangguk, mengucapkan kata basa-basi untuknya berhati-hati. Tanpa sepatah kata pun, Lemba menarik tangan Bayung yang langsung dibuat kebingungan.

"Ke mana, Kak?"

"Jalan-jalan," Lemba tidak melepaskan genggaman tangan mereka, ketika sudah si bibir pantai, Lemba menuntun Bayung untuk naik lebih dahulu. Dia mendorong sampan lebih ke tengah, lalu naik ketika air sudah menggenang sebatas lututnya.

LEMBAYUNG (Short Story-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang