2. PETRIKOR

465 70 23
                                    

Bukankah rindu memiliki arti keinginan sangat kuat untuk bertemu. Lalu, kenapa Lemba tidak mampu menahan getaran hati saat bertemu dengan pujaannya? Perasaannya malah melemah—terjatuh sampai ke dasar lautan.

Lemba lupa, awal mula bagaimana dia bisa jatuh cinta dengan adiknya sendiri. Hanya berawal ingin melindungi, lalu berakhir ingin memiliki.

Ketika kebanyakan remaja seusianya asyik menggoda insan yang disuka, mengajak menikmati keindahan bagaskara di ufuk barat. Lemba malah mengurung diri di dalam kamar, bersama sang adik yang tidak bisa jauh darinya. Ketika Bayung berusia empat tahun, Bayung memiliki tubuh yang lemah, seperti memiliki jadwal—dia perlu beristirahat total selama satu bulan. Wiyata memiliki kesibukan melaut, sedangkan Mega bekerja di penjahit tidak jauh dari rumah. Setelah pulang sekolah, Lemba mengganti Renjana untuk menjaga si kecil yang tidak mau disentuh oleh Aksama—kakak keduanya.

Lemba terbiasa mendekap erat tubuh gempal Bayung, menatap wajah tenang dalam pelukannya sejak ia berumur tiga belas tahun.

"Besok, kita ke rumah Bude Widari, ya, Kak?" Bayung berjalan merangkak ke atas ranjang, merebahkan diri di samping Lemba yang sedang menyibukkan diri membaca novel yang pernah dia baca saat senggang setelah pulang sekolah, dulu. "Sudah di siapkan, cuma perlu dipastikan, barangkali tidak muat atau kebesaran di tubuh kak Lemba."

"Siap," Lemba membalas singkat, berganti posisi tidur membelakangi Bayung. 

Situasinya cukup canggung untuk Lemba.

Bayung mendengus, menarik tubuh kakaknya untuk berhadapan. Membuat Lemba langsung dapat menatap wajah sang pujaan hati. Lemba tidak bisa menolak ketika Bayung masuk ke dalam pelukannya, ini kebiasaan si kecil jika bersamanya. "Hmm, pelukan Kak Lemba masih sehangat dulu, Bayung suka."

Lemba tidak menjawab, hanya mematung dan menatap wajah Bayung yang tenang—terpejam erat mulai terlelap. Malam semakin larut, di bawah genteng bermodel metal—genteng yang terbuat dari bahan utama logam. Ribuan rinai berjatuhan membasahi bentala, memberikan sensasi dingin namun menenangkan, mengantar semua jiwa menuju alam bawah sadar.

Kecuali Lemba, dia terjaga.

***

Satu hal yang pertama Lemba lihat ketika membuka mata adalah sosok tenang milik Bayung, adik kecilnya. Ia melepaskan dekapan itu, berjalan keluar dari kamar setelah membasuh wajah. Menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu, pandangannya langsung disuguhkan dengan beberapa warga yang tengah sibuk di rumahnya.

Sekitar satu minggu lagi menuju pernikahan Aksama dan Kaluna. Akan tetapi, kesibukan sudah dimulai hampir dua minggu lalu, ini untuk pertama kalinya keluarga Bagaskara mengadakan pesta ngunduh mantu—dalam adat jawa, mengacu pada rangkaian upacara pernikahan. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai acara resepsi pernikahan di lingkungan tempat tinggal pengantin wanita.

Acara pernikahan di rumah Kaluna sekitar satu minggu lalu, berjarak dua minggu, ngunduh mantu diadakan.

"Pagi, Bu ...." Lemba menyapa sang ibu yang tengah membuatkan kopi di dalam teko besar, kemungkinan ibunya membuatkan kopi untuk para warga yang sudah sibuk membantu di dapur. "Lemba perlu bantu apa?"

"Eh, duduk saja? Kamu masih suka teh, nanti Ibu beri sentuhan bunga chamomile, dari Tantemu." Ucap Mega yang masih mengaduk kopi. "Katanya, itu bagus untuk kesehatan."

"Boleh," Lemba berdiri, mengambil alih nampan dan dia bawa ke atas meja kecil, bersamaan dengan beberapa kue basah yang sudah disediakan. Lemba sempat menyapa beberapa tetangga. Banyak wajah yang tidak ia kenal, maklum sudah sepuluh tahun tidak kembali.

Lemba menyesap teh yang dibuatkan oleh Ibunya, harumnya menenangkan seperti petrikor—aroma yang keluar saat hujan turun. "Tidak di pawang, Bu?"

"Nanti saja menjelang hari H." Balas Mega sambil menaruh kue basah di dekat piring kecil—alas gelas milik Lemba. "Bayung belum bangun? Padahal dia harus pergi ke sekolah."

LEMBAYUNG (Short Story-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang