8. SADRAH

438 78 26
                                    

Hujan terus mengguyur pulau sejak kemarin malam, padahal sudah pukul sepuluh dan langit masih berwarna gelap. Hujan tidak turun sendirian, dia bersama guntur dan halilintar. Keberkahan alam sejak kemarin membuat beberapa penduduk pulau bermalas-malasan, terlalu beresiko untuk melaut. Begitu juga di rumah Bagaskara, hampir keseluruhan anggota keluarga sudah bersantai di ruang keluarga menikmati kopi dan teh hangat serta pisang goreng buatan Mega dan menantunya, Kaluna.

Hanya Lemba dan Bayung yang masih bergelung di balik selimut tebal. Bayung terlalu erat memeluk kakaknya, setelah perdebatan yang diselesaikan dengan secepat kilat itu, Bayung langsung tidur memeluk kakaknya. Mereka tidak lagi membahas perihal Adindra, keduanya tidak mempedulikan bagaimana kondisi Adindra yang susah kepalang senang padanya.

Lemba menarik lengan yang menjadi bantalan adiknya tidur, bibirnya tersenyum tipis menatap cantik Bayung tidur, mengelus pipinya. Dia menghela napas lesu, bisakah dia mengecup sekilas saja? Lemba menggeleng ketika tersadar dari pikiran kotornya. Dia bergegas bangkir dari kasur untuk berjalan ke kamar mandi—membasuh wajahnya sebelum turun untuk menemui keluarga.

Sejujurnya Lemba sudah ingin kembali ke Ibu Kota, perasaannya semakin tidak karuan jika berdekatan dengan Bayung. Tubuh Lemba memang gagah, tetapi tidak menutup jika hatinya lemah.

Perlahan Lemba menuruni tangga kayu rumahnya, dia masih memikirkan bagaimana caranya meminta izin kepada keluarganya untuk kembali bekerja di Ibu Kota.

"Uhum, Jana tidak setuju!!" Suara Renjana meinggi, hampir mengalahkan guntur yang berukang kali terdegar. "Renjana berumpah Mbah Uti, Lemba tidak akan pernah setuju tentang itu, prcayalah."

"Loh, Lemba tidak akan bisa menolak permintaan kita, Lemba akan menuruti perjodohan ini." Mbah Uti bersuara dengan begitu kuat, terdengar mengandung keyakinan yang keras.

Mbah Kakung menggeleng. "Uti, mau sesempurna apa pun seseorang, tidak akan pernah mampu mengisi perasaan Lemba jika dia sendiri yang menolaknya."

"Mbah!! Sampean (kamu) tidak usah ikut campur, ini semua demi kebaikan Lemba. Renjana bahkan tidak masalah jika harus dilangkahi dua atau tiga kali, tetapi Lemba? Anak itu akan tetap mengatakan tidak jika dia tidak, maka dari itu … Kita yang perlu membuatnya mengatakan iya." Ucap Mbah Uti lagi, semua ini perkara perjodohan Lemba dan Adindra. Masih ada dua belah pemikiran yang sama beratnya. "Apalagi yang dicari? Lemba mapan, tinggal kamu beri bagiannya dan menikah dengan bahagia—"

"Mbah Uti," Suara Mega merendah, "Maaf kalau saya memotong, tetapi saya tidak setuju jika pemikiran Mbah Uti seperti itu. Meski Lemba tetap mendapatkan bagiannya untuk menghidupi keluarga di masa depannya nanti, jika dia tidak menyukai maka semua tidak bisa kita anggap bahagia."

Lemba, masih berdiri di anak tangga, dia tidak bergerak dari tempatnya—menyimak pembicaraan yang mulai mengusik sanubari.

"Halah, dulu kamu sama Wiyata ya begitu …"

"Bu," Wiyata mencegah ibunya agar tidak berbicara lebih banyak. Semua orang tahu jika Wiyata dan Mega dahulunya juga bersatu karena perjodohan. Namun, yang membahagiakannya, mereka sama seperti Aksama dan Kaluna, bersatu karena cinta mereka. "Apa pun yang menjadi keputusan Lemba, saya akan pikirkan dan mencari jalan tengahnya. Tapi sebaiknya, kita bertanya padanya, siapa seseorang yang dia suka dan kita bisa membantunya untuk bersatu di bawah sumpah Tuhan."

Mbah Uti mendegus, di rumah ini hanya dia sendiri yang berpegang teguh agar Lemba bersama Adindra. Untuk Mbah Kakung, Aksama dan Kaluna memilih untuk nertral—mencari yang terbaik bagi Lemba, sedangkan Wiyata, Mega dan Renjana tampak menolak meski tetap mendengarkan bagaimana pendapat Mbah Uti. Seseoang yang berada dipihak Mbah Uti seperti Tante Ratna sudah kembali satu hari setelah pernikahan Aksama dan Kaluna.

LEMBAYUNG (Short Story-END)Where stories live. Discover now