PART 18

9.6K 1.1K 1.4K
                                    

Hallo semua ...
Target sebelum lanjut ke part 19 adalah 35 Rb reads (secara keseluruhan) & 700 comment (untuk part ini) ya.

Akan sangat mudah targetnya kecapai kalau semua readers bisa bekerja sama hehe. Masing-masing pembaca comment 50 aja pasti mudah tuh. Tanpa saling mengharapkan yang lain, pasti target bakal cepet kecapai hehe. Saya hanya ngasih saran aja sih biar cerita ini cepet dilanjutin.🤭

Yuk baca kelanjutan ceritanya ...

***

Revisi setelah end

Jose tiba 15 menit setelahnya. Ia mengambil jalan pintas terdekat dari arah taman. Melewati kawasan sekolah SMP-nya dahulu. Kemudian belok ke ujung gang. Di sana ada sebuah minimarket. Tempat ia dan kedua sahabat lamanaya dahulu berkumpul. Sekadar berteduh dari terik sepulang sekolah atau menikmati jajanan ringan di sana. Jose berdiri tepat di bawah plang minimarket di dekat jalan. Ia lempar pandangannya ke arah jalanan yang tidak begitu lebar itu. Bayang-bayang tiga orang anak berseragam putih biru melintas di sana. Salah satunya menggunkan tongkat, namun tidak mengurangi keakraban mereka. Tawa mereka, celetukan khas mereka, tidak asing di telinga Jose. Jose masih belum bisa menghapus kebersamaan mereka dari kepalanya. Meskipun saat ini, itu mustahil untuk bisa terulang kembali.

Tidak lama suara deruman motor trail Sam terdengar. Ia berhenti di dekat Jose. “Dah lama?”

“Belum.” Jose berjalan menuju pelataran minimarket. Sam menyusul setelah memarkir motornya.

Sudah menjadi kebiasaan mereka jika sedang berkumpul di minimarket ini adalah sambil menyeruput mie gelas. Sehingga tanpa aba-aba keduanya langsung masuk ke dalam. Mencari rak mie gelas kemudian menyiramnya dengan air panas yang sudah disediakan pihak minimarket. Setelah itu mereka menuju sitting area di dekat jendela kaca yang mengarah jalan raya.

“Tumben lo hubungin gue. Ada apa?” tanya Sam setelah keduanya duduk. Mie gelas masing-masing ada di hadapan mereka sembari menunggu mienya matang setelah disirami air panas.

“Udah lama ya kita gak ngobrol.” Jose menghembuskan napas sesal. “Maafin gue sering tempramen ama lo di sekolah.”

Sam tidak menjawab. Ia aduk-aduk mie gelas miliknya.

“Gue manggil lo ke sini mau nanyain soal Aime. Gue butuh bantuan lo.”

“Ada apa dengan Aime?”

“Gue mau nanya dari sudut pandang lo, kira-kira Aime ada kemungkinan buat ngelakuin bunuh diri gak sih?” Jose memulai interogasinya.

“Emangnya apa yang sudah dikeluarkan pihak kepolisian gak cukup?” Bukannya menjawab, Sam justru bertanya balik. Sekarang ia telah membuka tutup mie galasnya dan menyeruputnya pelan-pelan karena masih panas.

Mendengar kalimat Sam yang seperti menodong itu, Jose diam sejenak. “Hmm, bukannya gak cukup. Tapi apa salahnya kalau kita berspekulasi bukan?”

“Nambah-nambahin kerjaan aja, Jo. Udah, Aime udah meninggal. Kasusnya juga udah lama ditutup. Pihak keluarga juga sudah menerima kalau ini sebuah kecelakaan, yang tidak perlu ada pihak lain yang mesti dituntut. Lagian dengan spekulasi yang kita keluarkan juga tidak bisa mengubah apa pun 'kan?” Sam menjawab dengan realistis.

“Iya juga.”

“Tapi, okelah. Gue coba jawab pertanyaan lo. Menurut gue, Aime sepertinya memang wajar kalau bunuh diri. Lo pasti tau kan gimana kedua orang tuanya. Bisa saja karena frustasi atau bisa juga karena depresi, sampai-sampai ia kepikiran buat bunuh diri. Gue pernah mergokin maminya lagi marah-marah ke Aime pas terima rapor saat kita kelas sepuluh dulu. Gue tahu arah pembicaraannya, karena Aime tidak bisa bersaing dengan teman sekelasnya. Bahkan umpatan-umpatan kasar gue sempet denger terlontar dari mulut maminya itu. Padahal kalau kita lihat dari luar, maminya itu bisa dibilang cukup berwibawa bahkan terbilang ramah ke sekitar. Mungkin seperti orang tua lainnya, beliau menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan jalan yang ia pilih dengan bersikap keras seperti itu,” komentar Sam panjang lebar. Ia tunda sejenak makannya.

“Jadi menurut lo, Aime kemungkinan besarnya bunuh diri karena frustasi yang disebabkan oleh tuntutan keras orang tuanya ya?”

“Kira-kira begitu.” Sam mengangkat alis. “Apa lo gak kepikiran hal yang sama?”

“Sempet sih. Tapi gue tau cara berpikir Aime. Gue yakin dia tidak mungkin ngelakuin hal bodoh seperti itu.” Jose masih merasa kalau ada yang mengganjal dari kasus Aime ini.

“Jo, cara berpikir orang bisa berubah. Tergantung keadaan yang menimpanya. Ibarat kata, sabar juga ada batasnya.”

“Apa iya?” Jose mulai ragu.

Sam mengangkat kedua alisnya lagi. “gue tau lo suka ke Aime. Dan karena itu juga kita semakin renggang 'kan? Tapi bukan berarti karena rasa suka lo itu sampe ngebebanin diri lo buat nyari tahu apa yang seharusnya bukan tugas lo. Polisi ada. Itu urusan mereka. kasus sudah ditutup. Orang tua Aime juga tidak banyak komentar soal itu. Bahkan seolah mereka tidak merasa dirugikan apa-apa dengan kejadian ini.”

Jose tidak berkomentar lagi. Sam memang sejak dahulu selalu berpikiran realistis. Tidak gampang terkecoh jika sudah meyakini suatu hal. Salah satu yang ia kagumi dari sahabat lamanya ini adalah cara berpikirnya yang lumayan detail.

***

Feren membuka helm. Menurunkan resleting jaketnya sambil melihat sekitar. "Apa benar di sini?" tanyanya dalam hati. Ia cek lagi alamat dari HPnya. Ia sudah tepat berada di titik yang dimaksud. Sesuai arahan petugas counter tadi, alamat yang dimaksud itu ada di sini. Tapi yang ada di hadapan Feren sekarang hanyalah sebuah bangunan apartemen yang sudah tutup. Terlihat jelas kalau ini tidak berpenghuni. Ada plang besar yang menutupi pintu gerbangnya.

Sambil melihat sekitar yang sepi tidak ada siapa-siapa, Feren turun dari motornya. Ia intip ke dalam melalui celah pinta gerbang. Sama saja. Tidak ada siapa-siapa di sana.

“Ssst!” Seseorang memanggil.

Feren menengok cepat, mencari sumber suara.

“Sssst! Di sini.”

Feren memperhatikan jelas-jelas. Ternyata suara itu bersumber dari salah satu celah pintu kecil dekat plang yang menutupi gerbang utama. Feren mendekat.

“Lo yang nama Feren itu ya?” tanya orang itu dari dalam.

Feren mengangguk. Pelan-pelam terdengar suara klik dari dalam. Kemudian pintu berukuran tubuh satu orang itu pun terbuka. Sangat sempit. Di bagian atasnya masih terikat oleh rantai besi.

“Ayok masuk. Gak usah takut.” Orang tadi mengarahkan.

Feren mengikut saja. Ia akhirnya bisa masuk ke dalam. Suasana di dalam ternyata tidak jauh beda dengan apa yang dilihatnya dari luar. “Lo tinggal di sini?” tanya Feren.

“Iya. Ayok masuk. Ngomong-ngomong, kenalin, gue Riko,”  seru laki-laki berperawakan sedikit gondorong itu.

Feren menyambut uluran tangannya. “Feren.”

“Gak usah takut. Gue bukan orang jahat kok. Yang di counter tadi itu kakak gue.” Riko memperkenalkan diri.

Sambil mendengar beberapa penjelasan Riko, Feren menyusulnya hingga tiba di sebuah ruangan yang begitu banyak alat-alat. Di beberapa sisi ruangan ada layar-layar monitor yang terpampang. Sekilas terlihat seperti ruangan seorang hacker yang sering dilihat Feren di film-film.

“Jadi tujuan lo ke sini mau ngapain? Kali aja gue bisa bantu.” Riko duduk di depan salah satu komputer. Ia pakai kacamatanya sembari memperbaiki rambut yang hampir menutup Sebagian wajahnya.

“Gue mau minta bantuan lo buat lacak nomor seseorang. Bisa kan?”

***

Segitu aja dulu untuk part ini hehe.
Jangan lupa vote dan comment yaaa.🥳

Ingat targetnya.😁

Ajak yang lain buat baca cerita ini juga. Biar makin rame. Biar target cepat tercapai.

Sampai jumpa di part selanjutnya.🥳🥳
Tapi setelah target tercapai ya.

Spam "NEXT" di sini.

THE BLOCKADE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang