PART 9

13.8K 1.3K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Pak Adit membacakan beberapa kalimat pembuka pada surat tersebut. Kemudian masuk ke inti. “SMA Cendekia Permata secara resmi akan melakukan dua kali ujian pada setiap semesternya. Berarti ada empat ujian yang harus dilewati siswa pada setiap kelasnya. Dan poin berikutnya, kalau masing-masing siswa, minimal hanya bisa mendapat dua nilai merah pada kempat ujian tersebut. Jika lebih dari itu maka siswa akan mengulang kelas yang sama pada tahun ajaran berikutnya.”

Para siswa terbelalak mendengar pengumuman itu. Beberapa saling bisik. Mereka seperti tidak terima. Padahal aturan dua kali ujian per kelas, mereka rasa itu sudah cukup dan lumayan berat. Ini justru ditambah menjadi empat kali ujian plus dengan standar yang terlalu tinggi. “Kok gitu sih, Pak?” Seorang siswa menanggapi.

“Anak-anak, keputusan ini dikeluarkan langsung oleh kepala sekolah.” Pak Adit tidak bisa berbuat apa-apa.

“Huuuu ….” Terlihat jelas, para siswa terganggu dengan peraturan baru itu. Mereka seolah memprotes. Meskipun mereka adalah para siswa yang penuh ambisi, tapi dengan aturan seperti ini jelas akan mengganggu dan mempersulit. Khawatir kalau-kalau ada nilai mereka yang tidak sesuai ekspektasi dan itu akan mempengaruhi proses mereka untuk masuk universitas nanti.

“Berarti tinggal sepekan lagi kita akan mengadakan ujian pertama untuk tahun ajaran kali ini.” Lanjut Pak Adit.

Para siswa hanya bisa pasrah. Mereka saling tatap satu sama lain.

“Pak, titip salam buat kepala sekolah. Ujiannya delapan kali aja. Biar lebih keren.” Dari tempat duduknya Bricia mengangkat tangan. Kalimatnya seolah menyindir. Dia bukannya takut dengan ujian, tapi dia sangat menyayangkan kenapa ada perubahan aturan tanpa dia ketahui sebelumnya. Maminya adalah salah satu pemberi donator terbesar di sekolah ini. Dan dia merasa kalau keluarga mereka sangat punya andil dalam urusan sekolah. Sebelum-sebelumnya pihak sekolah akan memberikan bocoran-bocoran informasi seputar perubahan atau peraturan, baik jangka panjang atau jangka pendek yang berkaitan dengan sekolah.

Pak Adit hanya bisa membalas dengan senyuman atas tanggapan Bricia itu. “Anak-anak, kenapa kalian jadi pesimis seperti ini? Bapak yakin kalian bisa. Kalian semua di sini adalah siswa yang berpotensi. Untuk kali ini, tolong percaya sama bapak. Bapak akan mendampingi kalian melewati semua ujian ke depan. Kita akan bikin jam tambahan jika kalian mau.”

Giliran Jose, si ketua kelas mengangkat tangan.

“Iya. Silakan, Jo.” Pak Adit mempersilakan.

“Sebenarnya saya pribadi bukan tidak setuju dengan peraturan itu. Saya hanya sangat menyayangkan pihak sekolah, terutama kepala sekolah. Kenapa ada perubahan peraturan di tengah semester seperti ini. Seharusnya jika ada peraturan baru, alangkah lebih tepatnya disampaikan dan diterapkan pada awal tahun ajaran. Biar para siswa bisa lebih bersiap-siap. Karena mereka sudah mengetahui rintangan apa saja yang akan mereka lewati ke depan. Namun berlepas dari itu semua, kami para siswa juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk membatalkan itu. Apalagi ini keputusan yang turun langsung dari kepala sekolah. Kami mendengar dan kami siap menjalani.” Jose mengeluarkan pendapatnya.

Dari tempat duduknya, Bricia mengangkat tangannya untuk kedua kali. Tanpa dipersilakan dia langsung mengomentari pendapat Jose barusan. “Aku setuju dengan ay- eh maksudnya, aku setuju dengan ketua kelas.”

Adapun Sam hanya mendesis malas. Dia tidak begitu peduli dengan perubahan peraturan. Dia menjatuhkan kepalanya di atas meja. Melanjutkan tidurnya yang tertunda.

“Kalau ada hal-hal yang ingin kalian sampaikan bisa hubungi bapak langsung ya. Bisa juga melalui ketua kelas yang nanti akan diteruskan ke bapak. Ingat, bapak yakin kalian semua pasti bisa lulus pada ujian pertama ini. Bapak aja yakin dengan kemampuan kalian semua, kenapa kalian tidak yakin dengan diri kalian sendiri?” Pak Adit mencoba membangkar semangat para siswa yang ada dibawa tanggung jawabnya.

Sama halnya dengan Sam, Nava juga tidak begitu tertarik dengan isi pengumuman yang dibawa Pak Adit. Ia justru lebih tertarik menatap wajah teduh Pak Adit yang sangat menyejukkan mata. Nava benar-benar sangat terobsesi dengan guru satu itu.

***

Dalam kurang dari dua puluh empat jam, berita perubahan peraturan yang dadakan itu sudah tersebar di kalangan para orang tua siswa. Dan menjadi topik hangat mereka di group orang tua siswa. Para orang tua terbagi menjadi tiga kubu. Ada yang setuju dan tidak. Dan kubu lainnya memilih tidak peduli. Untuk kubu yang menentang adalah mereka para orang tua sekaligus para donatur sekolah. Karena mereka merasa punya andil terhadap sekolah. Jadi pihak sekolah tidak boleh memutuskan sebelum ada pemberitahuan atau dirembukkan terlebih dahulu kepada mereka. dan kubu ini dipimpin oleh Nyonya Reni, ibu Bricia.

“Kok kepala sekolah ngasih keputusan tanpa andil kita sih?” kompor salah satu ibu di group khusus para donator. Orang tua Aime tidak ada di group ini, karena bukan merupakan circle mereka. Meskipun ibu Aime termasuk donator juga.

“Iya nih. Kayak gak nganggap kita aja. Padahal kita udah bantu banyak sekolah itu.” Orang tua yang lain menimpali.

“Kayaknya emang kepala sekolah yang baru ini perlu adaptasi dengan kita. Dia belum tahu aja siapa kita.”

“Gimana kalau kita ke sekolah buat ketemu langsung.” Ada yang bersuara memberikan ide.

“Boleh tuh.”

Rencana itu pun terealisasi. Satu jam berikutnya empat mobil mewah dengan merk-merek terkenal berhenti di depan sekolah. Turun dari sana empat orang tua murid dengan pakain modis, dengan aksesoris mereka yang mencolok. Group ini dipimpin oleh Nyonya Reni. Kacamata hitamnya tidak ia buka, satu tangannya memegang tas kecil keluaran brand mahal. Yang tentunya harganya fantastis. Mereka berjalan penuh keangkuhan menuju ruang kepala sekolah. Pak Hermanto sudah menunggu di ruangannya. Dia sudah mendapat laporan akan kehadiran empat orang tua siswa yang sangat berpengaruh buat SMA Cendekia Permata.

*** 

Ternyata bukan hanya para orang tua siswa saja yang terbagi menjadi dua kubu. Di kalangan dewan guru pun seperti itu. Ada yang setuju ada juga yang tidak setuju. Namun karena ini keputusan kepala sekolah, jadinya mereka tidak bisa apa-apa. 

“Tujuan perubahan peraturan ini adalah agar para siswa lebih fokus lagi untuk belajar. Mereka tersibukan dengan belajar. Maka dengan itu secara otomatis pikiran negatif para siswa bisa teralihkan. Tidak ada lagi perundungan, dan tidak ada lagi kejadian serupa seperti bulan lalu.” Begitu pesan terakhir yang disampaikan Pak Hermanto selaku kepala sekolah pada rapat dadakan mereka tadi pagi. Para guru sebenarnya paham maksud kepala sekolah, untuk memperbaiki nama sekolah, karena sudah tercatat kalau SMA Cendekia Permata telah pernah memakan korban. Agar tidak ada yang mengikuti jejak Aime yang bunuh diri, begitu intinya.

Para guru yang tidak terima, saling bisik. Karena dengan adanya jadwal ujian tambahan, berarti mereka akan mendapat jatah kerja lebih banyak juga. Pak Adit dari tempat duduknya hanya diam. Dia terlihat seperti menerima saja dengan peraturan terbaru. Bahkan dia siap menambah jadwal tambahan agar bisa membantu para siswanya untuk bisa lulus pada ujian nanti.

“Jose, masuk!” panggil Pak Adit saat melihat Jose di depan pintu ruang guru. “Mana Sam dan dua temannya?” Lanjut Pak Adit. Ia memang memanggil empat orang ini ke kantor.

Sam, Erik, dan Ozi masuk menyusul Jose dari belakang. Pada pelipis Sam dan Jose masih terlihat lebam bekas perkelahian mereka tadi.

***

Segitu aja dulu hehe. Maafkan author kalau ketikannya banyak typo atau ada yang terlihat tidak nyambung. Mohon ditandain ya. Saya ulangi lagi, kalau cerita ini saya tulis buat marathon. Jadi untuk editingnya bisa diakhir nanti setelah end.

Mohon dukungannya dengan ngasih vote san comment sebanyak-banyaknya ya.

Makasih banyak buat yang udah selalu nunggu cerita ini update. Besok kita lanjut.🥳🥳

THE BLOCKADE (TERBIT)Where stories live. Discover now