TO BE 8

2.3K 197 4
                                    

Nindira melewati lorong sekolahan dengan wajah merah padam menahan amarah, ia tidak habis fikir dengan tindakan sang anak, bisa bisanya anaknya itu mempermalukan keluarganya sekarang, tidakkah anaknya itu berfikir bahwa mempertahankan reputasi itu penting?

Nindira tidak mau jika reputasi keluarganya yang ia dan sang suami bangun rusak begitu saja gara gara mental sang anak.

Apa kata orang jika keluarga terpandang mempunyai anak yang memiliki penyakit mental? Ia tidak siap jika harus menanggung hinaan dari orang orang, keluarganya harus terlihat sempurna bagi semua orang.

Saat tiba di UKS, ia dengan cepat menarik tubuh sang anak agar bangkit dari ranjang.

Lio yang merasakan tarikan pada tangannya menatap sayu pada sang bunda.

"Bun da." Panggil Lio dengan sorot mata takut.

"Bangun, ikut bunda." Ucapnya lembut, ia harus bisa menjaga emosinya di depan teman Lio, di tambah ketiga teman Lio adalah anak dari rekan sang suami.

Lio menggeleng ribut, ia menolak ikut kembali bersama sang bunda.

"Ikut Lio, kita ke rumah sakit." Ajaknya lagi dengan sedikit mencengkram tangan sang anak.

Lio yang ketakutan akhirnya memilih mengikuti titah sang bunda, ia sedikit kesusahan saat mengikuti langkah sang bunda yang lumayan cepat.

Sedangkan ketiga sahabatnya Lio hanya bisa menyaksikan kepergian Lio meninggalkan ruang UKS.

Saat di lorong, beberapa murid mulai membicarakan kejadian tadi, Nindi yang mendengarnya dibuat malu atas keadaan sang anak.

Di parkiran, Nindi dengan tidak sabar mendorong tubuh sang anak agar segera masuk ke dalam mobil yang ia kemudikan lalu keluar dari parkiran.

"Dengar Lio, mulai besok tidak ada sekolah umum untukmu, dan kamu akan mulai home schoolling, bunda akan mencarikan guru untukmu." Putus sang bunda sambil fokus berkendara.

"Tidak bunda.. Lio mohon biarkan Lio sekolah umum." Pintanya di kursi penumpang.

"Tidak." Tolaknya.

"Bunda Lio mohon." Ucapnya menyatukan kedua tangannya.

"TIDAK, SEKALI TIDAK YA TIDAK, BERAPA KALI BUNDA HARUS BILANG." tolaknya marah.

Lio yang mendengar bentakan dari sang bunda membuat tubuh anak itu kembali meringkuk di iringi dengan isakan kecil dari bibirnya.

.
.
.
.

"Turun, masuk kamar, jangan keluar sampai bunda menyuruhmu untuk keluar." Titahnya pada sang anak.

Lio tidak bergeming dan masih meringkuk, itu membuat Nindi semakin marah.

"TURUN LIO, CEPAT!" Luapnya, Lio tersentak, dengan cepat ia berjalan memasuki mansion lalu memasuki kamarnya.

Nindi menghembuskan nafasnya kasar, ia tidak habis fikir atas mental sang anak, sebenarnya apa penyebab anaknya menjadi seperti itu?

Nindi mengambil ponsel yang berada di tasnya, kemudian menghubungi sang suami untuk menjelaskan keadaan sang anak.

Setelah menghubungi sang suami, Nindi pergi ke kamarnya, amarahnya masih belum mereda, jika suaminya datang nanti, ia pasti akan membahas perihal Lio yang akan home schoolling.

Ia sudah bertekad, tidak ada yang bisa menolak ke inginannya walau pun itu suaminya sendiri, karena ini menyangkut harga dirinya serta reputasi keluarga.

Sedangkan Lio, anak itu meringkuk di lantai samping ranjangnya, kondisinya tidak baik, Lio merasa hidupnya tidak ada artinya, andaikan ia bisa seperti kedua kakaknya, mungkin ia akan bisa membuat orang tuanya bangga padanya, yang Lio perbuat selalu menyusahkan orang tuanya, dan sekarang, bundanya meminta ia untuk tidak pergi ke sekolah umum lagi, ini semua karena ia gila, ya sekarang dirinya gila.

Lio mengusap air matanya kasar, ia beranjak dari sana dan menuju nakas, ia mengambil sebuah botol obat, Lio menumpahkan beberapa butir obat tidur di tangan berniat untuk meminumnya.

Saat hampir memasukkan obat ke dalam mulutnya, pintu kamar Lio di dobrak dengan kasar, tanpa aba aba sang ayah menghampiri dan menamparnya.

PLAK

"APA YANG KAU LAKUKAN HAH?!" marah Gerald.

"SETELAH MEMBUAT MASALAH SEKARANG KAMU MAU MATI?!" tukasnya.

Lio tidak bergeming, ia hanya mampu memandangi butiran obat yang tercecer dari tangannya, ia sudah tidak sanggup menjawab ucapan sang ayah.

"APA YANG MEMBUATMU SEPERTI INI LIO?" Tanyanya marah.

"JAWAB!" Paksanya.

"Percuma aku hidup..." jawabnya pelan.

"Apa maksudmu?" Tanya Gerald terkejut mendengar jawaban sang anak.

"Tidak ada gunanya aku hidup ayah." Jawabnya menatap sang ayah sendu.

"Ayah tidak habis fikir dengan jalan fikirmu Lio, lebih baik renungi kesalahanmu." Putusnya lalu meninggalkan sang anak sendiri.

Gerald menyuruh beberapa bodyguard untuk menjauhkan benda benda tajam dari kamar sang anak, baik barang yang mudah pecah, seperti vas dan guci yang berada di kamar sang anak, ia tidak ingin anaknya melakukan hal yang bodoh.

Tadi pun dirinya dibuat was was atas tindakkan sang anak, niat hati ingin memarahi anaknya atas kejadian di sekolah, ia dikejutkan dengan aksi anaknya yang meminum obat tidur.

Sebenarnya sejak kapan anaknya itu mengonsumsi obat tersebut? Dan apa tadi? Anaknya bilang percuma untuk hidup? Apakah anaknya itu tidak memikirkan jerih payahnya membesarkannya, mungkin nanti ia akan berbicara dengan sang istri agar anaknya konsultasi ke psikiater.

Lio hanya bisa diam saat beberapa barangnya dibawa keluar oleh para bodyguard, itu tidak penting, sekarang ia harus apa? Bagaimana dirinya bisa membanggakan orang tuanya jika dirinya tidak sekolah dan menjadi sempurna?

Tidak sadarkah Lio bahwa dirinya selama ini selalu berjuang untuk membanggakan orang tuanya dalam kata sempurna, ia sempurna di mata kedua kakaknya, ia sempurna di mata sahabatnya, ia sempurna di mata semua orang yang memandangnya, mungkin fikiran Lio hanya terpaku pada tuntutan orang tuanya tanpa mempedulikan semua di sekitarnya.

Sekarang Lio seorang diri di kamarnya, disaat dirinya terpuruk tidak ada seorang pun yang merangkulnya, sering kali ia berharap salah satu orang tuanya akan merangkul dan menenangkannya sembari mengucapkan kata kata penenang untuk hatinya, namun tidak, orang tuanya hanya bisa memaksakan kehendak untuk Lio.

.
.
.
.

Saat baru sampai di kamar, Gerald di sambut dengan keluhan sang istri pada dirinya.

"Mas, aku ingin Lio home schoolling saja!" Pintanya pada sang suami sesaat setelah Gerald duduk di ranjang.

"Tiba tiba?" Tanya Gerald.

"Aku malu mas atas kejadian tadi siang, bahkan saat aku menjemput Lio tadi, ada beberapa murid yang mulai membicarakannya." Jelasnya.

"Bagaimana dengan Lio?"

"Aku tidak mau tau mas, lagian ini juga demi harga diri dan reputasi keluarga kita." Kukuhnya.

"Hah..." Gerald membuang nafasnya kasar.

"Baiklah, dan mungkin kita perlu seorang psikiater terbaik untuk Lio." Putusnya.

"Itu lebih baik." Jawab sang istri cepat.

Gerald tidak mungkin menceritakan kejadian tadi pada istrinya, ia tidak ingin membuat istrinya cemas. Tidak, lebih tepatnya ia hanya tidak ingin menambah beban fikiran sang istri.






PLIN PLAN BANGET MIAN🙏🏻😭

Terakhir bakal lama buat update lagi

TO BE PERFECT(D.R) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang