13 • Merenda Mimpi

Start from the beginning
                                    

"Artis memang beda ngomongnya ya." Revan menggelengkan kepalanya.

"Apaan sih kamu." Hawwaiz akhirnya tertawa lebar mendengar sindiran sahabatnya.

"Ayolah, temani aku. Nggak enak juga nih kalau sendirian, dia cewek nih," pinta Revan.

Hawwaiz memutar bola matanya malas. Jika tidak memandang Revan seorang teman yang baik tentu saja Hawwaiz enggan untuk beranjak. "Ok, one hour enough not more than that."

"Thanks, Brother."

Tidak ada niat lebih selain menemani Revan menuruti perintah orang tuanya untuk bertemu dengan Regita. Salah satu anak wanita dari kolega papanya. Pebisnis seringkali memiliki maksud terselubung dari kata berkenalan. Dan Revan cukup memahami akan hal itu, alasan itu pula yang membawanya untuk mengajak serta Hawwaiz duduk bertiga di sebuah kafe yang cukup terkenal di Oxford.

Dari sekian banyak percakapan, Hawwaiz justru sering diam dibandingkan menanggapi obrolan mereka. Antara enggan atau dia kurang begitu memahami pokok perbincangan bisnis antara keduanya.

"Iz, diem aja sih. Diajak ke sini bukan sebagai arca lho," protes Revan.

Hawwaiz tersenyum lalu menjawabnya dengan jujur. "Sori, aku roaming dengan perbincangan kalian."

"Tumben, biasanya kamu nggak pernah roaming atas banyak hal. What's up, Brow, anything wrong?"

"Nothing, lagi—" Hawwaiz mencoba untuk tersenyum, "Ya beginilah. Pengen cepet kelar aja kuliahnya, jadi nggak pengen ngerti apa-apa selain duniaku."

"Tapi istirahatlah, Iz. Tuh lihat mata sudah seperti panda, badan makin kurus seperti orang nggak terawat aja sih." Revan menggerutu yang disambung tawa Regita.

"Hawwaiz ini mahasiswa kedokteran yang super istimewa banget Git. Belajar terus nonstop, kalau nggak gitu ngevlog, atau pegang kamera buat fotoin orang-orang. Nih ya perusahaanmu kalau butuh dokumentasi mending sama dia aja."

"Eh tunggu, Bang Hawwaiz ini youtuber ya? Sepertinya pernah lihat juga fotonya, eh tapi di mana ya?" Regita mengingat tapi tidak ada gambaran sama sekali.

"Kamu kerja di mana sih, Git?" tanya Revan.

"Perusahaan ekspor impor, sebenarnya perusahaan Jepang hanya saja dia ada cabang hampir di negara besar seluruh dunia."

Hawwaiz langsung bersuara. Ingatannya mengacu pada satu titik. "Fedsin Nomura Exporindo bukan?"

"Eh kok Bang Hawwaiz tahu?" Regita menjentikkan dua jarinya sampai berbunyi nyaring.

"Tempat kerja Vira juga Iz?" tanya Revan.

"Kalian kenal dengan Vira?" Regita sedikit terkejut mengetahui dua teman barunya mengenal salah seorang rekan kerjanya di kantor.

"Beneran Git?" tanya Revan kemudian.

"Vira masuk ke London setelah aku dua bulan berada di sana. Sebenarnya bergabungnya di FNE duluan Vira, tapi karena dia di Indonesia dulu jadi ya begitulah." Regita tersenyum.

"Git, boleh tukeran nomer telepon nggak?" Hawwaiz tiba-tiba meminta nomor HP Gita.

"Boleh, ketik nomer Abang di sini saja langsung." Regita menyerahkan gawainya kepada Hawwaiz.

Revan tersenyum melihat gerak cepat sahabatnya saat berkenaan dengan wanita pujaan hatinya.

Saat Hawwaiz sedang asyik menyimpan nomernya di gawai Regita, gadis itu tiba-tiba bicara. "Oh iya aku baru ingat, foto Bang Hawwaiz kan ada di meja Vira."

Dan dari sanalah Regita mendapatkan cerita dari Revan tentang siapa Hawwaiz dan Vira. Meski terkadang gadis itu mengerutkan keningnya, tapi senyuman selalu menghias bibirnya ketika mendengar cerita Revan. Dari pertemuan itu pula, Hawwaiz meminta tolong kepada Regita mengenalkan siapa sekiranya orang yang bisa dimintai bantuan untuk memenuhi kebutuhan harian Vira tanpa harus diketahui olehnya.

AORTAWhere stories live. Discover now