1 | I Love You, Dad

359 21 10
                                    

Tarakan, 2145

AKU BERGEGAS jauh-jauh dari Ibukota di Kalimantan Timur ke Kalimantan Utara, sejauh lebih dari 500 kilometer hanya demi Dad.

Di dalam flycar, aku tak mampu diam. Sedari tadi, aku menyuruh AI yang menyupir flycar secara otomatis untuk mempercepat laju. Satu jam terlampau lama untuk menempuh perjalanan agar segera dapat mengobati demam Dad.

Aku tidak tahu kenapa Dad bisa tiba-tiba jatuh sakit. Kalau dipikir-pikir, demam tipoid, dengue, maupun malaria sudah lama dijinakkan. Apalagi, HIV dan kanker bahkan telah ditemukan obatnya, dan itu semudah melakukan operasi plastik. Lantas, Dad sakit apa?

Satu-satunya hal yang aku tahu, Dad sedang dirawat di klinik dekat proyek 140 triliunnya. Aku tidak tahu itu proyek apa. Ketika aku melayang di atas langit-langitnya, yang aku lihat hanya ada menara silver raksasa setinggi 100 meter layaknya roket.

Tanpa berlama-lama, ketika flycar sudah mendarat di pad, aku langsung tergopoh-gopoh ke tempat Dad. Ya ampun, betapa tersayatnya hatiku ketika menyaksikan Dad melotot layaknya orang sekarat.

Aku tidak banyak protes dengan fasilitas yang Dad miliki. Meskipun ini hanya sebatas klinik, fasilitasnya setara dengan ICU. Tempatnya serba putih dan temperatur dijaga serendah mungkin untuk mencegah pertumbuhan patogen. Dad telanjang dan hanya memakai popok. Kateter meliuk dari penisnya yang diselimuti oleh kemul tebal yang warnanya seputih ruangan.

"Nona Honda, pakai baju hazmat dulu. Ikuti protokol yang ada." Seorang suster memanggilku dengan nama margaku. Ia juga memberikanku seragam pelindung biru langit beserta masker dan plastik penutup kepala.

"Baik, cepat bawa saya kepada Dad!"

Suster itu pun langsung mengantarkanku ke sisi Dad. Aku tidak tahu mengapa mereka sampai memberiku hazmat. Aku rasa, mereka terlalu paranoid dengan demam yang dialami Dad.

"Kondisi klinis Tuan Honda baik. Per pukul 12 siang ini, tekanan darah 120/90, saturasi oksigen 95%." Suster itu membacakan laporan dari papan jalan yang diletakkan di atas nakas.

Kondisi klinis Dad baik. "Apa sudah dites PCR mengenai kadar antibodi Dad?"

Suster itu mengangguk. "Sudah kami jadwalkan, dan akan dilakukan satu jam lagi."

Sudah kuduga, mereka mencurigai Dad terkena virus, bakteri, atau patogen. Karena itu, mereka menyuruhku memakaikan hazmat. Namun, firasatku tak lega. Aku rasa, Dad terkena hal lain selain patogen. Sesuatu yang lebih halus, dan entah kenapa aku tidak mampu mengingatnya sama sekali dari buku kuliah kedokteran yang pernah kupelajari.

Aku pun memutuskan untuk keluar ruangan dan melepas hazmat di ruang ganti. Di depan kaca, aku memandang pantulan diriku yang payah. Rambut kuncir dua berserakan, hidung mancung, dan mata lebar yang Dad bilang ini idaman sejuta pria. Bahkan Dad bilang, jika aku bukan putrinya, tentu ia akan menikahiku.

"Nona Honda, boleh minta waktu sebentar, saya ingin bicara dengan Anda. Empat mata." Suster tadi tiba-tiba memanggilku. Ia masuk ke ruang ganti seperti celingukan, lalu ia mengunci pintu.

"Apa yang hendak Anda bicarakan? Mengapa perlu mengunci pintu?" Aku sudah siap menghajarnya jika dia berniat jahat kepadaku.

Namun, suster itu menggeleng. "Tidak, saya tidak ada niat jahat kepada Anda. Hanya saja, saya hendak menyampaikan dugaan saya tentang penyakit Tuan Honda."

"Katakan saja, tidak perlu paranoid!"

"Saya bukannya paranoid, tapi jika ada orang lain yang mendengar, tentu mereka akan memecat saya sebagai perawat di klinik ini."

"Apa? Anda melakukan kesalahan?"

Suster itu menggeleng. "Memang ini hal yang tabu untuk terjadi di zaman sekarang. Tapi, dari gejalanya, saya yakin Tuan Honda sedang terkena ....

"Santet!"

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Shall I Call You Dad or Daddy?Where stories live. Discover now