"Lucu banget. Baru kali ini denger ada orang hobinya males ngomong," cewek itu tertawa kecil hingga membuat matanya menyipit.

"Lo ngapain sih ngikutin gue terus?"

"lah, kan kita sekelas."

Ah iya. Damar lupa sejenak bahwa cewek cerewet itu sekelas dengannya. Dirinya sedikit sial hari ini. Mau tidak mau Damar harus bisa menahan dirinya hingga sampai ke dalam kelas.

"Lo kenapa sih, kayaknya dingin banget sama gue. Memangnya gue ada salah sama lo ya?" Rasa penasaran yang sering terlintas didalam kepalanya mencuat keluar hari ini. Meskipun selalu terlihat ceria didepan cowok itu. Sejujurnya Tara cukup sedih melihat bagaimana Damar yang selalu cuek dan selalu menghindarinya.

"Perasaan gue memang selalu begini kan? mungkin karena lo belum kenal gue sepenuhnya," jawab Damar. Dirinya merasa semua sikapnya selama ini normal-normal saja. Intinya, dia memang tidak terlalu suka berbaur dengan orang lain yang tidak dekat dengannya. Berinteraksi dengan teman-teman juga sewajarnya saja. Damar juga tidak ingin terasingkan dalam interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya.

"Kalau gitu tolong biarin gue buat mengenal lo lebih dalam," ujar Tara, kali ini lebih tulus.

"Lebih dalam? maksud lo?"

"Gue pengen lebih dekat sama lo, Damar!" Akhirnya, Tara sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia tahu, mungkin Damar akan melihatnya sebagai cewek yang agresif. Biarlah, lagipula ini adalah kalimat yang tulus keluar dari hatinya. Dia memang tidak terlalu berharap dengan cowok yang cukup pendiam itu.

Damar menghentikan Langkah lakinya. Dia menoleh dengan sedikit menundukkan kepala. Dilihatnya wajah gadis yang baginya sangat menyebalkan itu. Pandangan mereka saling bertabrakan. Netra yang mengkilau milik Tara itu coba dia baca. Damar tidak ingin lagi jadi bahan mainan untuk cewek itu. Tetapi, ada sedikit rasa aneh yang bergetar dalam dirinya. Bagaimana bisa bahasa mata cewek itu membuatnya gugup.

Damar pun memalingkan wajah, menggerakkan kakinya kembali melangkah, mendadak mulutnya buntu mengeluarkan kata-kata.

Kali ini, Tara tidak lagi menyamakan kakinya bersama dengan langkah kaki cowok yang berjalan didepannya. Dia hanya diam ditempat, mengamati punggung gagah yang mulai menjauhinya. Malu karena cowok itu lagi-lagi bersikap cuek dan dingin? sedikit. Tara memang tidak berani menaruh harapan besar setelah mengatakan isi hatinya. Tetapi, tetap saja dia masih merasa sedikit kecewa.

***

Pelajaran Kimia berlangsung dengan cukup panas. Apalagi tulisan rumus dari tinta spidol yang memenuhi papan tulis didepan kelas. Dua tiga sampai beberapa kepala digaruk mencoba memahami dan memasukkan ilmu yang sedang dijelaskan oleh guru pengajar. Sayangnya sulit, pelajaran ini memang selalu pemicu stress anak sekolah, sama hal-nya dengan pelajaran matematika.

Kelas mulai sedikit tenang setelah guru selesai menjelaskan dan kembali duduk dibangkunya. Semua murid dengan tenang menyalin catatan itu kedalam buku tulis.

"Damar!" panggil bapak itu dari mejanya.

Damar segera mengangkat tangan, lantas menjawab panggilan itu, "Saya, Pak."

"Bisa tolong ambilkan flashdisk saya di meja kantor saya?"

Cowok itu mengangguk, "Bisa, Pak."

Setelah itu Damar pun keluar dari ruangan kelasnya untuk mengambil barang yang dipinta oleh gurunya. Lorong sepi, karena pelajaran memang sedang berlangsung. Usai menemukan flashdisk yang disebutkan, cowok itu segera meninggalkan ruangan kantor guru dan berniat langsung kembali kedalam kelas. Dilorong yang masih sunyi itu, Damar bertemu dengan Karina. Tidak tahu habis darimana cewek itu sejak tadi karena tidak terlihat.

"Abis dari ruang guru?" tanya Karina, seperti biasa cewek itu selalu memancarkan keanggunannya. Damar mengakui memang seniornya itu memang sangat cantik.

Dia mengangguk, "Iya, Kak. ini, ngambilin flashdisk," ujarnya, "Lo sendiri abis dari mana?"

"Lagi pelajaran Kimia ya?" tebak cewek itu.

"Eh..." Damar cukup kaget mendengar tebakan Karina, "Kok lo tau?"

Karina pun tertawa tipis, "Hapal banget sama Flashdisk pak suseno," jawabnya.

"Astaga. Kirain lo indigo," guraunya.

Mereka berjalan sambal mengobrol di Lorong kelas. Menurutnya, Karina adalah cewek yang sangat lembut. Sikapnya juga terlihat lebih dewasa. Mungkin karena jiwa kepemimpinannya di OSIS membuatnya menjadi lebih bijak.

"Gimana soal tawaran untuk masuk OSIS, Dam? Udah lo pikirin?"

Ah, akhirnya hal yang cukup menghebohkan namanya beberapa waktu terakhir dibahas. Sejak awal Damar memang tak memikirkan hal itu. Jadi, dia belum punya keputusan untuk jawaban itu.

"Ngeliat lo yang tenang gini. Kayaknya lo memang gak berminat ya untuk ikut?" Karina menebak lagi.

Tidak sepenuhnya sebenarnya kalau dikatakan Damar tidak berminat dengan tawaran itu. Sejatinya Damar memang tidak terlalu suka mengikuti organisasi-organisasi yang nantinya mengharuskannya untuk berinteraksi dengan orang lain. Membayangkannya saja sudah cukup melelahkan.

Dari kejauhan diam-diam ada orang yang memperhatikan obrolan mereka. Entah apa yang dia lakukan. Tetapi dia mengeluarkan ponselnya lalu kemudian mengambil beberapa gambar. Seringainya melebar kala melihat hasil jepretan yang dia dapatkan. Entah niat terselubung apa yang sedang orang itu rencanakan. Tetapi yang jelas itu bukanlah hal yang baik.

Tidak menunggu lama, foto yang sudah dia ambil itu segera dikirim kepada seseorang. Tak sabar membayangkan apa yang akan terjadi nantinya, jelasnya itu pasti adalah hal yang bakal menarik. Sebelum Damar dan Karina menyadari keberadaannya, cowok itu segera awas dari tempatnya. Kembali masuk kedalam ruangan kelas IPA A1.

To be continue...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Asmara : DAMARA SANDANAWhere stories live. Discover now