Stand Out From The Crowd

7.6K 1.1K 371
                                    

Hestamma.






Gue merasa kalau gue banyak berubah. Whether it's good or negative in the sight of others, the changes I'm going through right now are rather startling to me.

This isn't the first time I've been in love with or felt drawn to a woman. Tapi, ini jadi yang pertama kalinya buat gue dibuat jungkir balik di dalam prosesnya—sesuatu yang gue anggap begitu merepotkan dulu.

When I observe my friends fighting for their relationships, I often wonder why they are fighting so hard. I couldn't fathom all of their efforts at the moment. Dan gilanya lagi, di saat yang bersamaan—when I don't understand their decision to fight 'desperately' for their relationship—gue diam-diam juga sedang mengusahakan untuk memantaskan diri agar bisa berdiri berdampingan dengan wanita yang kabarnya akan segera bertunangan dengan pria lain saat itu.

Waktu itu mungkin gue nggak sadar soal usaha besar yang sebenarnya sudah gue mulai sejak awal untuk bisa mendekati Laras, dan sekarang semuanya terlihat makin jelas.




"Sinting... lo bisa gila begini cuma karena Nana?"

"Kenapa lo mendadak berubah pikiran? Ah, karena lo mau menikah, jadi pandangan lo ke Adelia juga ikut berubah?"

"Nggak tau, gue sendiri ikut bingung. Setau gue, Jatmika baru pertama kali ketemu Samahita, ya, waktu di pesta pernikahannya Dominiq. Masa' sekali ketemu bisa bikin dia berubah jadi cacing kepanasan begitu..."




Yang terakhir itu memang komentar gue di saat ada yang menanyai hubungan Jatmika dan Samahita saat pria itu sedang gencar-gencarnya menawarkan job wedding painter ke teman-teman kami.

Semua itu—kalimat-kalimat barusan—keluar dari bibir gue sendiri.

And now look at me—doing things that are no less bizarre than my closest friend's behavior, which I previously cursed and openly questioned.

"Kenalan dulu, Hes." Gue berdiri dari sofa, menjabat tangan 7 pria dan 6 wanita yang berbaris rapi di samping sofa yang diduduki Katon. "Ini Hestamma, orang yang ngebuat kalian lembur akhir-akhir ini. Nggak perlu sok ramah-ramah segala." Maksud ini orang apaan, sih? "Mereka sering maki-maki kamu karena kamu ngasih kerjaan suka lupa kodrat mereka sebagai manusia," lanjut Katon terlihat lempeng yang berkebalikan dengan raut tegang staf-stafnya.

Bukannya barusan Katon berusaha menjatuhkan 'nama gue' di depan staf-stafnya? Tapi, kenapa sekarang dia malah menjatuhkan keprofesionalitasan stafnya di depan gue?

Ririn—asisten pribadi Algis yang juga ikut datang ke rumah Katon—menggelengkan kepalanya. "Bapak Katon lagi kesel aja, Pak, karena Pak Hestamma datang ke sini pagi-pagi," kilah Ririn yang disambut anggukan staf Katon yang lainnya.

Tatapan gue langsung mengarah ke Katon yang berusaha menutup mulutnya yang menguap lebar.

"Duduk-duduk..." Mengabaikan Katon yang keliatan malas-malasan menyambut kedatangan gue, gue mempersilahkan lebih dulu staf-staf Katon, Hatalla, Narendra, dan Algis yang masih berdiri bergerombol di belakang sofa yang diduduki Katon.

"Nggak sekalian kamu tawarin minum apa mereka, Hes?" sindir Katon, mungkin karena melihat tingkah gue yang mirip tuan rumah dibanding dia yang benar-benar seorang tuan rumah.

Menatap raut geli para staf yang sudah duduk, gue kembali mengabaikan perkataan sinis Katon barusan. "Maaf, ya, weekend begini saya malah ngajak kalian meeting."

"It's such an honor for us karena bisa bantu Bapak untuk selesaikan case ini." Jeremy—tangan kanan Narendra—menimpali dengan ramah. Kalau diliat begini, deskripsi 'cunguk bermasalah' yang disebut Narendra sama sekali nggak bisa gue liat waktu gue berhadapan dengan Jeremy sekarang. "Sejak awal, kami memang bersedia untuk bantu Bapak. Jadi kapanpun Bapak butuh bantuan, kami siap membantu," ujarnya penuh dengan nada keyakinan.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Where stories live. Discover now