Adding Fuel To Fire

8.7K 1.2K 494
                                    

Laras.

"Your performance at the old PBB session was commendable. Your appearance there seems to have piqued the interest of many people, and purportedly, news about you is still being debated."

Hhh... Apa gue keliatan peduli? Maksud gue, apa kami harus benar-benar membicarakan topik semacam ini di saat ada topik yang lebih penting untuk dibahas? Misalnya—

"There are various articles that discuss our family and Laras and Johan's engagement, and they are all favorable." Dengan senyum lebar, Pak Adi menjelaskan dan tampak fokus dengan handphone yang diletakkan di atas meja kerjanya.

I prefer to refer to it as the worst of the worst. How can the news about me and Johan be considered favorable when Johan and his family only want to ride on my name?

Well, mungkin di mata beberapa politisi keluarga Johan memang termasuk ke keluarga terpandang tapi hal itu berbanding terbalik dengan pandangan beberapa masyarakat yang benar-benar melek soal seberapa 'sampahnya' keluarga ini.

Papa tertawa—yang nggak gue ketahui alasannya apa—raut wajahnya entah kenapa juga terlihat bangga. "Saya juga sudah lihat semalam begitu Laras pulang ke Jakarta. So far, everything is going swimmingly. Because of the news about Laras, there were several publications that also covered Johan, and all of them were the same as what we felt was wonderful news."

What was this crap that I just heard?

Gue belum sempat melihat berita apa pun, tapi melihat bagaimana antusiasnya Mbak Ajeng dan Papa waktu gue sampai di rumah kemarin—I'm sure I stepped in the dirt again this time. Apalagi ditambah ajakan makan siang keluarga Johan hari ini, semuanya jadi masuk akal.

"Laras harusnya juga merasa bersyukur." Gue buru-buru mengalihkan tatapan ke Pak Adi. "Tanpa nama Johan, mungkin beritamu nggak akan seramai ini dibicarakan, loh," katanya dengan raut wajah super sombong.

Huh? Apa barusan gue salah dengar? Yang ada juga nama gue tercoreng karena harus disandingkan dengan Johan!

"Isn't what you said in the conversation not fully truthful? Due to my involvement in the PBB—"

Wait, gue belum selesai ngomong! Tatapan tajam gue bertemu dengan tatapan mengancam yang dilempar Papa ke arah gue—memperingati supaya gue nggak meneruskan apa yang barusan akan gue katakan.

Pak Adi menatap kami berdua—gue dan Papa—dengan kedua alisnya yang terangkat tinggi. "Kenapa? Kenapa nggak dilanjutkan?" tanyanya sambil menatap gue dan Papa bergantian.

"Laras ini sepertinya—"

Ucapan Papa ikut terpotong bersamaan dengan suara ketukan dari luar ruangan kerja Pak Adi yang sedang kami tempati saat ini.

Perhatian kami bertiga sama-sama terarah ke pintu ruangan kerja Pak Adi yang terbuka sedikit, menampilkan sosok—

—Johan yang gue pikir nggak ada di rumah karena Pak Adi sempat bilang kalau anaknya itu punya keperluan di luar.

"Hai, Nak." Yup, Papa langsung berdiri dari sofa dan menjabat tangan Johan seakan pria itu orang penting. Well, he does matter to the people who crave political power in our country.

"Siang, Pa."

Tahan, Ras, jangan sampai lo muntah di sini!

Mendengar nama panggilan yang baru saja keluar dari bibir Johan, bibir Papa melengkungkan senyum lebar. Does he really have to be that happy?

Gue buru-buru menggeser tubuh waktu Johan tiba-tiba saja duduk di samping gue. Masih ada banyak sofa yang kosong, harus banget dia duduk di sebelah gue, ya? Mata gue melotot, melepas genggaman tangan Johan di tangan gue.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Where stories live. Discover now