You Almost Have but Never Can Get

15.2K 1.8K 479
                                    

Laras.

"Kamu jadi datang ke acara soirée-nya keluarga Gumilar?"

Kegiatan gue memasang earrings terhenti sejenak, menatap Mama yang berdiri di depan pintu kamar dari pantulan cermin.

Apa pertanyaan barusan perlu banget gue jawab, di saat Mama udah liat dandanan heboh gue sekarang?

Untungnya, keterdiaman gue—yang gue kirim sebagai sinyal—diterima Mama dengan baik. Kepalanya mengangguk, ia melipat tangan di dada sambil memperhatikan gue yang tengah berdandan di kamar.

"Mama kayaknya nggak bisa datang, deh, Dek." Gue mengangguk, sudah tau kalau Mama nggak akan bisa pergi karena hari dia ada jadwal tapping untuk acara talkshow-nya. "Tapi, nanti kalau tapping-nya selesai cepat, Mama sekalian nyusul kamu ke sana aja. Udah lama juga nggak ketemu sama Mbak Kinara," katanya terdengar menimbang-nimbang, sebelum memeriksa handphonenya.

Udah lama nggak ketemu? To be more specific, Mama didn't get to meet Ibu Kinara very often. Mereka bukan teman sepermainan, teman minum teh yang bisa haha-hihi ngobrolin soal anak-anak mereka. Kalau boleh jujur, Mama harus berterima kasih ke gue karena dari gue lah Mama bisa berkesempatan untuk mengenal dekat Ibu Kanaya dan keluarganya.

Sebelum gue ikut kontes Puteri Indonesia, keluarga gue nggak bisa dibilang sebegitu menarik perhatian. Our family is well-known among the upper classes, and that's about it. Kami nggak begitu mencolok sampai Papa menjabat sebagai Gubernur Ibu Kota Jakarta dan Mama yang akhirnya punya acara talk show sendiri setelah menjadi wartawan dan news anchor selama 22 tahun tahun, tapi hal itu nggak cukup untuk membuat keluarga Gumilar tertarik mengundang kami sekeluarga untuk acara makan siang bersama, ya...

Makanya, dari sana muncul banyak kecurigaan tentang undangan keluarga Gumilar setelah bertemu dengan gue di Final Puteri Indonesia malam itu. Bahkan, Mbak Ajeng bilang kalau gue harus siap menikah muda karena keluarga Gumilar seperti 'menargetkan' gue secara nggak langsung.

Berkat omong kosong itu, Papa sempat marah besar—something I don't want to think about.

"Dek..." Gue bergumam panjang, sambil mengaplikasikan Guerlain Rouge G Dark Red ke bibir gue. "Kamu mau diantar, atau bawa mobil sendiri?" Mbak Ajeng lalu ikut berdiri di sebelah Mama, sama-sama memperhatikan gue berdandan.

Tadinya, gue udah hampir nekat bawa mobil sendiri tapi Mama nggak mengijinkan gue karena gue nggak tau kapan tepatnya acara soirée keluarga Gumilar itu selesai. "Diantar," jawab gue, dihadiahi anggukan puas Mama.

"Dresscode-nya memang harus pakai kebaya, Dek?" tanya Mbak Ajeng, berjalan menghampiri gue.

Karena pertanyaan itu, gue jadi memperhatikan penampilan gue sendiri yang hari ini dibalut kebaya Kartini modern berwarna merah yang merupakan hasil tangan Rina Hapsari.

Kepala gue menggeleng, menatap pantulan cermin di mana Mbak Ajeng tengah berdiri tepat di belakang gue. "Nggak ada dresscode-nya."

Sebenernya, pertanyaan Mbak Ajeng tadi itu cuma ungkapan sarkas. Gue tau, dia mungkin bosen ngeliat penampilan gue dengan balutan kebaya berbagai model yang sering—sangat sering—gue pakai ke mana-mana, bahkan ke mall buat jalan-jalan.

Setelah mengenal Ibu Rina Hapsari lewat Ibu Kinara, gue jadi tergila-gila dengan kebaya.

Mereka bilang, kebaya itu simbol kelembutan, keanggunan, dan keteguhan perempuan.

Dan, gue nggak pernah langsung se-setuju itu sejak awal gue dengar soal filosofi itu.

Setiap orang atau kasusnya di sini buat perempuan, mereka pasti tau model pakaian yang cocok mereka pakai—yang enak dipandang dan membuat diri mereka sendiri nyaman. Dan, gue menemukannya lewat kebaya.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن