Reinvent The Wheel

10.2K 1.4K 520
                                    

Hestamma.



In one of her writings, Laily Gifty Akita noted, "In the game of life, Sometimes we win, sometimes we lose; either way, we should always keep playing."

Hanya karena satu malam itu, dan bagaimana Laras memperlakukan gue keesokan harinya—I seem to have lost focus and purpose, yet it only took her one night to do so. Oh, salah... Gue nggak akan mungkin lupa gimana gue bertahan sendirian bertahun-tahun sebelumnya untuk wanita yang sama.

Bayangkan, bahkan pertemuan kami sebelumnya bisa dibilang sangat jarang terjadi—sampai sekarang juga, sebenarnya—tapi fokus yang gue punya cuma bisa tertuju pada satu nama wanita—Laras—meski gue mencoba untuk dekat or I may open my heart to another woman, pada akhirnya semuanya akan berakhir sia-sia.

She may be cute, but she is not Laras.

She may be attractive, but she is not Laras.

She may be intelligent and commanding, but she is not Laras.

She may be 100, but she is not Laras—certainly not someone I want.

"Kamu nggak akan pernah jadi prioritasku di hubungan ini."

Itu, 'kan, yang dibilang Laras hari itu?

Gue tau gue kalah, tapi gue nggak akan bisa berhenti setelah gue akhirnya bisa sedekat itu dengan Laras, gue nggak akan menyerah—nggak akan bisa.

"Aku pernah liat di televisi, tapi nggak nyangka kalau ternyata secantik itu waktu ketemu langsung."

Ya, 'kan? Apalagi dengan balutan kebaya yang dipakainya tadi—I couldn't even concentrate on my food because my gaze was drawn to her.

Farah tertawa kecil, "Seharusnya, tadi Mas Hestamma di sana aja, Mas Katon, sih, nggak usah didengerin. Dia begitu, 'kan, karena belum pernah jatuh cinta mati-matian aja kayak Mas Hestamma."

"Jatuh cinta? Mati-matian?"

Kepala Farah mengangguk, "I can see everything from your look to her, though not for long. extremely noticeable," ujarnya penuh penekanan.

Jatuh cinta mati-matian, ya? I enjoy hearing it and how easy it is for others to see how I feel for Laras, which I no longer hide.

"Padahal, tadi aku iseng, loh, minta anter Mas Hestamma." Tawa Farah kembali terdengar. "Aku pikir Mas Hestamma bakal nggak mau, dan lebih memilih stay di sana sama Mas Katon dan Mbak Laras."

"Nggak, deh." Maksud gue nggak dengan menetap di sana—di meja yang sama dengan Katon dan Laras.

Selain karena ada Katon di sana—yang udah lebih dulu mengancam dan menceramahi gue—gue juga nggak mau sejauh itu dengan Laras. Paham nggak, sih? Gue rasanya tersiksa sendiri karena harus berjauhan di saat kita ada di satu tempat yang sama.

"Terus, habis ini Mas Hestamma mau ke mana?" tanya Farah saat kami sudah hampir dekat dengan rumah orang tuanya.

Sambil menyetir, gue mengedikkan bahu. "Ada urusan lain."

Sebenarnya, gue nggak benar-benar mau pulang ke Jakarta hari ini karena gue nggak punya keperluan di sini—di akhir pekan ini. Tapi, semalam Narendra menelepon dan bilang kalau dia ingin menemui gue dan anak-anak lainnya di Jakarta.

Well, bisa ditebak kalau ini pasti ada kaitannya dengan pernikahannya bersama Adelia. Itu, sih, yang gue dengar rumornya dari Ayah dan Ibu waktu tau alasan gue pulang ke Jakarta akhir pekan ini.

Berkat Farah yang memang ramah dan nggak sungkan untuk mengajak gue mengobrol, perjalanan dari Le Quartier ke Kemang—rumah orang tua wanita itu—jadi tidak seberapa terasa.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Where stories live. Discover now