21. Morning sickness

Start from the beginning
                                    

"Rara butuh, mbaa."

"Rara juga punya kabar bahagia buat mba," tanganya yang satu lagi ia gerakkan untuk menyentuh perutnya yang masih rata.

"Rara butuh banyak bimbingan dari, mba."

Tit

Tit

Tit

Suara monitor terus mendominasi kesunyian diantara mereka.

"Ra...."

Sebentar!

Arana mendengar sesuatu?

Seperti bisikan. Sangatt pelan.

Wajahnya langsung dia angkat. Ia yakin dirinya tidak salah dengar.

"Ra."

Benar.

Arana melihat bibir Raya bergerak walau dengan mata yang masih terpejam.

Arana dengan antusias langsung mendekatkan wajahnya. "Iya mba? Ini Rara."

Mata Raya mulai sedikit terbuka, hanya sedikit, namun Arana bisa melihat retina itu bergerak.

"Mba- minta tol-ong, Ra."

Air mata Arana jatuh dengan deras melihat Raya yang kesulitan berbicara.

Ia bingung harus bahagia karena akhirnya Raya sadar, atau harus sedih melihat kondisi Raya yang belum stabil.

"Iyaaa mbaa, pasti Rara tolongin. Mba mau apa?"

"Jaga-in Zeyan, a-de nya ju-juga."

"Pasti. Pasti Rara jagain. Mba ngga perlu mikirin itu. Ada banyak orang yang sayang sama mba, juga mereka, mba pulih aja itu udah cukup." Arana menggenggam erat tangan Raya. Ia seolah meyakinkan Raya kalau buah hatinya akan baik-baik saja.

"Rara panggilin bang Aldi ya, mba?"

Raya menggangguk samar.

Sesampainya diluar, Aldi langsung masuk setelah tahu istrinya sudah siuman.

"Gimana, sayang?"

"Mba masih belum sepenuhnya sadar, mas."

"Berdo'a aja sama Allah semoga Mba Raya cepat membaik."

"Aamiiin allahumma aamiiin."

"Kamu masih mau tetep disini?" Pak Aldan memegang tangan Arana lalu ia tuntun untuk duduk di kursi.

Istrinya itu juga belum sembuh total. Jadi tidak boleh kelelahan.

"Iya, mas. Kita pulang kalo bang Aldi udah keluar. Boleh?"

"Boleh."

Mereka berdua duduk di kursi dalam keadaan hening, tak banyak pembahasan selama menunggu Aldi keluar ruangan.

Ceklek

Pak Aldan dan Arana menatap Aldi yang menunduk. Mereka menunggu kata-kata apa yang akan lelaki itu kekuarkan.

Pecinya ia buka sembari melangkah mendekat.

"Barusan Raya nitip amanah. Abang ngga maksa kalian buat nerima ini, tapi amanah Raya tetap akan abang sampaikan."

Mereka menyimak dengan khidmat tanpa berniat menyela pembicaraan.

"Sebenernya tadi abang sempat bicara sama dokter yang nanganin Raya. Kata beliau adek nya Zayan udah bisa dibawa pulang. Tadi juga abang kasi tau Raya karna dia nanyain perihal ini. Dan Raya bilang, dia mau minta tolong kalian jagain bentar."

Senja Yang AbadiWhere stories live. Discover now