XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•

Start from the beginning
                                    

     “Pasti pada kaget pas lo masuk sekolah, ntar. Kayaknya hampir seminggu lo gak masuk?”

     “Baru enam hari,” koreksi Regi.

     “Ya sama aja hampir seminggu itu,” Danu memutar bola matanya malas.

     “Gua kangen mie ayamnya Bu Siti, Nu.”

     “Lah, baru kemaren Bu Siti nanyain lo ke kita.” itu suara Ciko.

     “Kalau gitu ntar gua mau makan mie sepuasnya.”

     “Gak usah aneh-aneh, deh, lo Gi ... baru aja keluar rumah sakit.” Danu tampak  menggerutu tak setuju.

     “Ya kan, emang udah langganan, mau diapain lagi?”

     Mereka terdiam, sedangkan Regi malah memilih melangkahkan kedua kakinya memasuki gerbang sekolah. Hingga setelah mereka terdiam cukup lama, pada akhirnya mereka menyusul Regi.

• Another Pain •

     Sepanjang kakinya melangkah di area sekolah, Regi tiada henti mengumbar senyum. Bahkan sampai tak terlihat jika begitu banyak beban di tubuhnya. Seolah seperti memasuki sekolah barunya ketika menyadari ada yang menyapa dirinya. Jika kemarin ia terluka, dan hari ini Regi begitu bahagia.

     Karena seperti itulah hidup yang Regi jalani. Berlarut-larut dalam kesedihan malah membuatnya semakin tertekan. Ia hanya mau menghabiskan setiap detik dalam hidupnya sebelum nanti ia tak bisa lagi melakukannya, mungkin.

     Langkah kaki Regi tiba terhenti saat sebuah mobil melintas memasuki area sekolah. Tak hanya dirinya, bahkan sebagian dari siswa-siswi yang melintas memilih berhenti di tempat. Regi tahu mobil siapa itu. Ya, mobil Ayahnya.

     Bahkan Regi sendiri tak ingat, apakah ia pernah di antar ke sekolah dengan Ayahnya. Sepertinya tidak.

     Tak lama keluarlah sosok lelaki paruh baya yang bahkan semalam sempat bertengkar hebat dengannya. Lalu di susul dengan pintu belakang yang terbuka. Itu Reyga, saudaranya.

     Dan semua siswa yang melihat pun lekas berbisik-bisik.

     “Kamu belajar yang bener, nanti pulang sekolah Papa jemput.” Adli berujar dengan kedua tangan yang merapikan dasi yang di kenakan Reyga.

     Tak ingin banyak bicara karena sejatinya Reyga masih marah dengan Ayahnya. Ia hanya menganggukkan kepala lalu lekas meraih tangan Ayahnya dan mengucap salam.

     Begitu juga Adli adalah Ayahnya, orang tuanya. Reyga masih ingin menghormati lelaki itu.

     “Yaudah masuk dan ingat...” Adli menggantungkan ucapannya, lalu kedua manik matanya melirik tepat dimana Regi berdiri tak jauh dari mereka sejenak sebelum kembali menatap Reyga. “Jangan dekat-dekat dengan Regi, atau Papa akan langsung pindahin sekolah kamu.”

     Kedua tangan Reyga mengepal erat saat mendengar hal itu, tak banyak bicara lagi ia lekas melengos pergi memasuki lobby sekolah.

     Adli merapikan jasnya, akan tetapi sebelum itu ia menatap kembali Regi yang juga menatapnya. Tatapan Adli bagaikan tatap yang penuh rasa kebencian, begitu tajam dan menusuk.

Another Pain [END] ✔Where stories live. Discover now