XIII •Tak berujung•

4.3K 317 14
                                    

° Playing song : Kerispatih - mengenangmu °

Happy reading

“Mereka hanya bisa berkomentar. Tanpa tahu proses yang kita jalani untuk tetap bertahan dan berdiri tegak.”

—Regi Sabiru

     Hari masih pagi, bahkan matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

     Hari masih pagi, bahkan matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Tapi wanita dengan setelan baju batik bermotif daun di padu dengan sepatu pantofel berhak tinggi—sudah memasang wajah masam.

     Bu Indi. Wanita paruh baya yang sudah menjabat sebagai Kepala Sekolah selama lima tahun belakangan. Sosok yang disiplin, ulet dan cekatan, begitu di segani para Guru dan murid.

     Tapi pagi ini emosinya mendadak timbul saat mendengar berita yang beredar soal kegaduhan yang terjadi di sekolah kemarin.

     Baru kali ini Bu Indi menangani kasus perusuhan antar kelas yang bisa di katakan tidak sepele karena ada belah pihak yang terluka. Jika biasanya Guru bimbingan konseling yang bertindak, kali ini tak dapat di toleransi.

     Sekolah itu tempat untuk menimba ilmu, bukan ajang perkelahian yang semata-mata akan merugikan siswa itu sendiri begitupula sekolah.

     Kini di hadapannya sudah duduk berjejer enam siswa dari kelas berbeda. Siswa yang kemarin membuat kegaduhan hingga terdengar ke telinga Guru-guru.

     Dengan tatapan yang seakan-akan menahan emosi, Bu Indi mulai menegakkan tubuh dan menatap enam siswa di hadapannya lebih intens.

     "Apa lagi ini?"

     Bu Indi menyodorkan ipad-nya kasar di hadapan siswanya—memperlihatkan sebuah video berdurasi pendek dengan suara teriakan-teriakan yang sedikit memekakan telinga.

     "Kalian ini datang ke sekolah niatnya mau belajar apa tawuran?"

     "Itu video sudah tersebar ke semua Guru," lanjutnya yang tak sekalipun membuat mulut enam siswa itu terbuka—sekedar menyanggah ataupun membela diri.

     Mereka masih diam di tempat, tak berani angkat bicara. Seakan-akan memberikan waktu untuk Bu Indi melontarkan segala asumsinya.

     Helaan napas berat terdengar. Bu Indi menarik kembali ipad-nya, melemparkannya ke samping meja lalu beralih bersedekap dada.

     Mulutnya kembali terbuka, "Ada yang bisa memberi alasan kenapa kalian bereklahi?"

     Bahkan mereka masih diam, menunduk saat Bu Indi melontarkan pertanyaan itu. Membuat wanita itu geram dan meninggikan suaranya. "Jawab!"

Another Pain [END] ✔Where stories live. Discover now