Dua Puluh Sembilan: Tangkapan Besar

105 18 1
                                    

Tepat pukul 10 malam, Kia membuka matanya yang semula terpejam. Di kediaman Wijaya, ada satu peraturan yang berlaku ke semua penghuni termasuk para pekerja rumah. Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, tidak boleh ada satupun yang masih terjaga di area dalam rumah. Mereka harus sudah tertidur lelap di jam tersebut. Setiap jam 9 malam, suka tidak suka Bibi Diana akan berkeliling ke seluruh penjuru rumah. Memastikan semua orang sudah terlelap dalam kamar, lantas mengunci pintu itu dengan kunci yang akan diberikan ke ayah mereka nanti.

Peraturan ini sudah berlaku sejak lama, entah apa alasannya. Itulah mengapa Kia tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai hal yang mengganggu, hingga seseorang memberinya perintah yang menyebabkan dirinya terjaga saat ini. Perlahan Kia turun dari tempat tidur lantas menghampiri meja belajar, membiarkan lampu kamar tetap gelap. Jantungnya berpacu cepat berdoa dalam hati kalau takkan ada yang mendengar suara apapun dari dalam kamarnya.

"Gelap banget anjir, syuting horror lu?"

Kalimat itu langsung masuk ke telinga sebelah kiri Kia yang tersumpal earphone. Di layar laptopnya menampilkan sosok Arga yang mulai mengomel. Kia tak membalas omelan sang pemuda, memilih mengetikkan segala kalimatnya di ruang chat yang tersedia di ruang panggilan video tersebut.

Kia: Cepetan Kak, kenapa lo nyuruh gue untuk nggak tidur.

"Dapet nggak kunci kamar?" Arga bertanya dengan acuh sembari sibuk mengotak-atik sesuatu di layar tabletnya. "Gue mau memastikan sesuatu di rumah lo."

Kia: Lo bukan mau nyuruh gue keluar kamar sekarang kan kak?

Melihat isi chat tersebut, Arga tak menjawab. Memilih mengeluarkan satu seringai lebar yang sukses membuat bulu kuduknya meremang. "Good luck."

Kia: Kak, gue nggak bisa

"Jam 10 lewat 15, lo punya waktu 15 menit untuk keluar dari kamar tanpa ketahuan siapapun." Mata Kia segera beralih melirik jam di sudut kanan bawah layar, mendapati bahwa ia hanya punya waktu 3 menit hingga waktu yang disebutkan Arga. "Rencana gue nggak pernah meleset."

Kia mengigit bibir bawahnya, tak sadar bahwa tangannya yang terkepal mulai berkeringat akibat dirinya gugup setengah mati. Ia menghela napas, bangun dari duduk lantas bergerak menuju pintu. Telinganya ditempelkan ke pintu, berusaha mendengar sekecil apapun suara langkah kaki di luar sana. Ia kemudian membuka kunci teramat pelan agar suara yang dikeluarkan tidak begitu keras. Kegelapan menyambut Kia ketika dirinya keluar dari dalam kamar. Sepanjang lorong hanya disinari lampu temaram yang terpasang setiap 5 meter. Tak ada suara yang terdengar, suasana teramat sunyi hingga Kia dapat mendengar suara detik jarum jam tua yang ada di dekat tangga.

Langkahnya bergerak perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Matanya terus melirik ke arah pintu kamar sang kakak yang berada di seberang. Berdoa sekencang mungkin, bahwa sang kakak tidak mendengar suara derak kunci yang di putar tadi. Ia mulai berjalan menyusuri area lantai 2, tentu dengan perasaan awas.

Kia membawa langkah kakinya menuju area tangga, ketika mendengar suara bisik-bisik dari area ruang tamu. Mengintip dari sela-sela railing tangga sembari merendahkan tubuh, memastikan tak ada satupun yang dapat melihatnya. Ia melihat beberapa orang berjas hitam memenuhi area ruang tengah. Tanpa sadar, Kia menahan napas melihat sosok Kenanga Lazuardi memasuki kediaman dengan mantel hitam menutupi gaunnya yang berwarna silver berkilauan.

Sosok Kenanga nampak tersenyum ramah, sembari menyalami sosok sang ayah yang menyambut sang puan. Mereka berbincang untuk beberapa saat, sebelum diarahkan menuju sisi kanan. Tempat yang dilarang di datangi siapapun, kecuali ayahnya yang meminta.

Tak lama suara derak pintu terbuka, membuat Kia terkejut bukan main. Buru-buru ia berlari menuju salah satu dinding bersembunyi di sana dengan napas memburu. Dirinya mengintip dari balik tembok mengarah ke asal suara. Menyadari bahwa suara pintu tersebut berasal dari sisi terujung bagian kanan. Seorang perempuan dengan pakaian lusuh berwarna putih keluar dari kamar. Rambut hitam panjangnya tergerai begitu saja, sampai beberapa helai menutupi wajah sang perempuan. Seolah menyadari kalau ia sedang di amati, perempuan tersebut perlahan menoleh. Namun, belum sempat Kia melihat paras sang puan secara sempurna. Matanya tiba-tiba ditutup, bersamaan dengan tubuhnya yang dipaksa kembali bersembunyi di balik tembok.

Hukuman Murid Ke 38Where stories live. Discover now