Lima: Ruang Musik

194 65 6
                                    

"Selamat pagi Mika."

Sapaan yang langsung menyambutnya, membuat pandangan Mika yang semula terfokus pada ponselnya terangkat. Mendapati Farhan sudah tersenyum ke arahnya dengan sebuah sapu di tangan. Ia tak menyangka bahwa ketua kelasnya akan menyapa, karena pemuda itu sama seperti murid lain tak menyapanya sama sekali terakhir bertemu. Jadi, tiba-tiba disapa seperti ini membuat Mika merasa segala pusing dan kebingungannya dalam memecahkan sepotong kode tempo hari. Hanyalah sebuah bunga tidur.

Sayangnya, tak seperti Farhan yang halus sekali merubah sikapnya hingga seperti tak terjadi apa-apa. Teman sekelasnya yang lain justru nampak sekali terkejut. Mata membulat, dan keributan yang seketika berubah menjadi hening. Menunjukkan seberapa terkejut mereka melihat orang yang seharusnya sudah tak menginjak kelas ini lagi, kini muncul begitu saja. Kecuali, Aya yang bersikap tak peduli seperti biasanya.

Pandangan Mika langsung terarah pada Tasya yang kini menatapnya tajam. Meja tempat gadis itu duduk, dikerubungi hampir seluruh teman sekelasnya. Iya yakin sekali, pasti Tasya sudah sesumbar mengatakan bahwa ia sudah pasti menerima hukuman sebab tidak bisa menaiki peringkat. Ekspresi bodoh Tasya, membuat sebelah sudut bibir Mika tertarik ke atas. Tersenyum miring, sebelum berjalan menuju kursinya. Tak mengindahkan keheningan yang masih mengisi seisi kelas.

"Teman-teman, ayo kita mulai berbaris di lapangan."

Ajakan Farhan membuat seisi kelas tersadar dari keterkejutan mereka. Mengalihkan pandangan dari Mika untuk bergegas meraih atribut upacara mereka masing-masing. Bergegas keluar, ketika speaker kelas mulai terdengar suara guru kesiswaan yang meminta tiap murid untuk bergegas berbaris.

"Ah iya Mika," panggilan dari Farhan membuat langkah Mika terhenti. Menoleh ke arah sang ketua kelas yang entah kenapa selalu membuat Mika merasa tak nyaman di dekat pemuda itu.

"Selamat datang di SMA Jayatri. Mari bersaing dengan benar."

***

Entah sudah berapa kali Mika menghela napas panjang, dan mengerutkan dahi hari ini. Sepertinya masih butuh waktu lama hingga ia terbiasa dengan sekolah aneh ini. Setelah seisi sekolah memperlakukannya seolah ia bukan bagian dari murid tempo hari, sekarang semua orang memperlakukannya seperti biasa. Mengobrol, bahkan melemparkan candaan. Benar-benar memperlakukannya kembali seperti murid baru di kelas 11 MIA 5.

Tadi saja ketika bel istirahat berbunyi, banyak sekali teman sekelasnya yang mengajak untuk pergi ke kantin atau memakan bersama yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Mika. Ia lebih baik menghabiskan jam istirahatnya sendiri, ketimbang menghabiskan waktu tertawa bersama mereka yang jelas hanya berpura-pura. Maka, disinilah Mika duduk di sebuah bangku koridor yang mengarah ke taman belakang. Salah satu tempat yang jarang sekali dilalui orang-orang.

Suara decit sepatu yang semakin mendekat, membuat Mika menoleh. Mendapati sepasang kembar yang semakin mendekat dengan sebuah tas bekal di tangan masing-masing. Satu dari mereka sangat cerewet membicarakan banyak hal yang hanya dibalas anggukan sesekali dari sang kembaran. Hingga ketika jarak semakin mengikis, Mika menyadari tatapan bingung sepasang kembar itu yang coba diabaikannya. Apalagi ketika mereka mengambil posisi duduk tepat di seberangnya. Memberi anggukan sekilas sebagai bentuk menyapa, sebelum kembali fokus pada makanannya.

"Ah, jadi kamu murid baru yang dirumorkan itu?"

Pandangan Mika teralih, ke salah satu pemuda yang berpenampilan lebih berantakan dari kembarannya. Tak seperti kembarannya yang bersikap tak peduli, pemuda satu itu sudah menatap Mika tertarik. Mika tak menjawab apa-apa, memilih mengabaikan saja dan kembali memasukkan potongan lain daging teriyaki ke mulut.

"Lihat Irgi, dia pandai sekali menggunakan sumpit. Sudah jelas dia dari Jepang. Kamu bisa bahasa Jepang kan? Coba ajak ia bicara, mungkin daritadi kita diabaikan karena tak paham? Eh apa aku gunakan bahasa Inggris saja ya? Apa-"

Hukuman Murid Ke 38Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang