Dua Puluh Enam: Kotak Pandora Terbuka #1

47 23 2
                                    

Rumah yang didiami Tasya, jelaslah asri. Walau berada di perumahan yang telah berdiri lama, bangunannya tetap terawat. Jarak antar rumah yang tak berdempetan, menyisakan banyak ruang untuk para pemilik rumah membangun ruang hijau. Termasuk di kediaman sang Nenek.

Davin menoleh ke belakang, mendapati sosok Nenek Tasya dalam balutan kebaya jingga memperhatikan mereka dari arah teras belakang. Terlihat tidak ambil pusing akan kedatangan ia dan Mika, walau sebenarnya Davin tau jika wanita itu jelas mengamati setiap pergerakan mereka. Nampaknya tatapan tajam khas seorang Tasya ia turunkan dari sang Nenek.

"Wah ini enak banget sih Sya. Kalau gue bawa ke Jakarta bisa nggak?"

Pertanyaan yang disuarakan Mika dengan riang, memecah fokus Davin. Ia menoleh, mendapati Mika sudah tersenyum lebar sembari melahap sredek yang disajikan Tasya. Sebuah kudapan dari singkong yang diparut lalu dikukus. Disajikan dengan taburan kelapa parut dan gula putih. Makanan tradisional sederhana yang jelas jarang ditemui bahkan hampir tidak ada di tempat mereka tinggal. Dalam hati, Mika mengingatkan dirinya sendiri untuk bertanya resep sehingga bisa meminta Pak Jaka menyiapkannya di rumah nanti.

"Lo tuh, jangan lupa tujuan awal kita kesini,"tegur Davin seraya menyesap pelan sirup melon yang disuguhkan Tasya. Sukses membuat Mika merengut, merasa sang pemuda menganggu kesenangannya saat ini. "Cepat habisin makanan lo."

"Jadi, sekarang kalian benar-benar kerja sama?" tanya Tasya sembari tersenyum kecil. Sejak kedatangan mereka, gadis itu nampak lebih ramah dan ceria. Jelas hal yang aneh untuk seseorang yang terdepak dari Jayatri karena hukuman peringkat. Ia lebih terlihat seperti seseorang yang beban di kedua pundaknya terangkat.

"Sejak awal kan Mika memang di kubu gue."

"Bukan itu maksud gue, lo peringkat satu tapi masih bego deh heran." Mulut pedas Tasya memang takkan pernah hilang. Kalimat perempuan itu barusan sukses mengundang tawa kencang dari Mika, sementara Davin berdecak malas. "Kerja sama yang dilakukan Mika di kubu lo, jelas berbeda dari kerja sama yang melibatkan kalian berdua. Kubu lo itu ada penyusupnya, jadi nggak bisa dipercaya sepenuhnya."

"Kalian selalu bilang kubu gue ada penyusupnya, kenapa nggak kasih tau sekalian siapa orangnya?" Davin jelas tak bisa menampik kalau ia juga penasaran siapa penyusup yang dimaksud itu.

"Soalnya penyusup itu termasuk senjata kita, akan lebih baik kalau lo nggak tau." Kini Mika yang berbicara, seraya memasukkan suapan terakhir sredek ke dalam mulut. "Dia akan menyampaikan semua informasi yang kita miliki, termasuk jika informasi yang kita beri adalah kebohongan. Lagipula nanti terungkap sendiri, tunggu aja."

Kalimat Mika secara ajaib mengubah atmosfer di antara mereka bertiga. Suasana hangat dan ramah kini lenyap bergantikan suasana serius dan tegang. "Paketnya mana?"

Paham maksud permintaan Mika, Tasya segera kembali ke dalam rumah. Butuh waktu beberapa menit hingga gadis itu kembali dengan sebuah buku diari berwarna merah maroon. Buku diari yang familiar bagi Davin, sebab itulah barang yang ia cari selama ini. Buku diari milik Ratna Sinta. Dari sekian banyak orang ia tak menyangka bahwa buku itu akan tersimpan di tangan Tasya.

"Sekarang boleh gue bertanya kenapa buku itu ada di tangan Tasya?" tanya Davin menuntut penjelasan. Sejak Mika memberi tau bahwa buku diari Ratna berada di tangan Tasya, ia berusaha menahan diri untuk bertanya sebab beranggapan bahwa temannya itu bercanda. Namun, setelah melihat sendiri di depan mata Davin tak bisa menahan diri untuk tak bertanya.

Pertanyaan Davin membuat Mika dan Tasya berpandangan. Seolah paham arti tatapan Tasya, Mika mengangguk kecil. Membiarkan perempuan berambut panjang itu yang memberikan penjelasan, sementara Mika mulai membuka isi buku diari. "Gue adalah satu dari sekian banyak hal yang dipersiapkan Kak Juan sebelum Mika datang ke Jayatri. Lo udah tau kalau kakak Mika satu itu punya rencana besar untuk membongkar habis Jayatri hingga ke akar. Dan gue hanyalah satu dari rencana kecil yang mengiringi rencana itu."

"Jadi lo bekerja sama dengan Juan juga?"

"Lebih tepatnya gue membuat kesepakatan dengan Neneknya Mika. Ibu Sri Rahayu."

Siapa yang akan menyangka, jika diam-diam di balik tenangnya Nenek Mika membangun kesepakatan dengan banyak pihak demi memperlancar pergerakan kedua cucunya. Sri Rahayu selalu terkenal sebagai sosok yang dingin dan tertutup. Sejak memegang tampuk kepemimpinan tertinggi dalam usaha restoran dan pariwisata yang ditinggalkan sang suami, beliau jarang sekali muncul dalam acara sosial kalangan atas tanah air. Kuasanya memang tak sebesar hingga mampu mengendalikan semua orang di tangannya, namun semua orang mengakui kepiawaiannya di bidang bisnis.

Namun, setelah kematian putranya belasan tahun yang lalu beliau berubah. Kabarnya Sri Rahayu lebih senang mengunci diri di dalam rumahnya dan hanya mengawasi dari jauh. Semua orang kehilangan kabarnya, hingga 2 tahun belakangan ia kembali. Melakukan kebiasaannya seperti sedia kala seolah tak ada masa ia menghilang dari kehidupan sosial. Tak ada yang tau, bahwa dibalik hilangnya dulu ada banyak sekali jaring yang ia sebar. Sebelum pada waktunya akan ia tarik untuk mendapatkan hasil yang selama ini ia tunggu. Salah satunya keluarga Tasya.

"Ibu Sri Rahayu datang dengan mengetahui seberapa muak gue akan dosa-dosa yang telah dibuat kedua orang tua gue atas nama keserakahan. Kedua orang tua gue terlena akan apa yang bisa mereka raih, tanpa menyadari bahwa jalan yang mereka pilih amatlah salah. Melupakan kejujuran, martabat dan harga diri yang ditanam oleh Nenek gue sejak awal sebelum menyerahkan bisnisnya ke ayah." Tasya melirik ke arah sang Nenek yang sibuk merajut di teras. "Beliau berjanji akan membongkar semua dosa-dosa itu menggantikan gue namun tak membuat hidup Nenek ikut hancur, dengan satu syarat."

Kini tatapan Tasya beralih kepada Mika. "Gue masuk ke Jayatri, dan mengamankan satu peringkat untuk dimasuki Mika nanti."

"Hah? Gimana? Bahkan kalau lo masuk dan bisa masuk ke peringkat, nggak serta merta lo bisa-" Ucapan Davin berhenti di tengah-tengah kala menyadari sesuatu. Jika sedaritadi Mika terlalu fokus pada buku diari, kini ia ikut menatap Davin. "Jangan bilang lo tau caranya."

"Soal-soal yang tidak pernah terjawab itu, rewardnya selalu sama. Menukar peringkat penerima ke peringkat apapun yang di mau." Tasya menghela napas berat. "Tapi, mau sebanyak apapun poin yang gue kumpulkan. Susah banget buat masuk 10 peringkat. Lo semua jawab soal dan buat prestasi terus menerus udah kayak orang gila tau nggak. Padahal gue udah dijokiin sama yang terbaik di Jayatri."

"Kakak gue. Orang yang selama ini bantuin Tasya jawab pertanyaan-pertanyaan itu, Kak Juan." Sebelum Davin bertanya siapa orang yang dimaksud Mika sudah lebih dulu menjawab. Pantas saja semenjak bergabung ke Jayatri, Tasya termasuk orang yang menaiki peringkat dengan cukup cepat. Jika diingat kembali, jarak antara Tasya memasuki Jayatri hingga ia menempati peringkat 12 memang tergolong cepat. Tandanya ia menjawab semua teka-teki itu dengan benar, dan itu hanya mungkin terjadi jika yang menjawab adalah satu dari anggota Golden Jayatri.

"Masih belum menjawab pertanyaan gue, kenapa buku diari Ratna ada di lo."

"Lo nggak sabar banget sih!" omel Tasya sembari berteriak kencang, tak lupa menepuk keras pundak Davin sebagai respon kekesalannya. Tak lagi peduli kalau teriakannya itu membuat sang Nenek kini menoleh ke arah mereka dengan pandangan khawatir. "INI TUH BIAR LO NGGAK BANYAK NANYA LAGI!"

"Pukul Sya, jadi ikutan kesal deh gue." Alih-alih menghentikan perbuatan Tasya, Mika justru menyemangati sembari meraih piring kecil lain berisi sredek. Membiarkan Davin sudah berteriak ampun akan pukulan-pukulan yang dilayangkan Tasya. Mengingat gadis itu adalah atlet taekwondo sehingga pukulannya jelas tak biasa.

"Tasya."

Panggilan itu mengalihkan perhatian ketiganya ke asal suara mendapati sang Neneklah yang memanggil. Di sampingnya ada pekerja rumah Nenek Tasya berdiri dengan kepala tertunduk, sama dengan orang yang menyambut Davin dan Mika tadi. "Ada yang datang mencarimu Nak."

"Lo ada janji sama orang lain hari ini?" tanya Mika, mendadak berubah waspada.

Tasya menggeleng dengan raut wajah bingung tertera jelas di wajah. "Siapa?"

Sang Nenek berbisik sesaat dengan pekerjanya, lantas menyebutkan sebuah nama yang sukses membuat mata ketiganya membulat. Bersamaan dengan debaran jantung yang semakin cepat, disebabkan ketegangan yang mendadak muncul.

"Dia bilang, namanya Irgi."

TBC

Hukuman Murid Ke 38Where stories live. Discover now