Dua Puluh Delapan: di Balik Rasa Aman

67 19 0
                                    

Akihara.

Sebuah nama yang terus muncul di sekitar Nana semenjak Rey dan Aiko mengetahui ia berasal dari Jayatri. Sejak awal ia sadar, kalau sepasang kekasih itu jelas bukan murid biasa. Anak kepala sekolah dan anak dari direktur perusahaan konstruksi terbesar di Jepang jelas punya pengaruh penting. Melihat bagaimana mereka dengan mudah menyingkirkan pengawas yang dikirimkan Jayatri padanya, sudah menunjukkan seberkuasa apa keduanya. Namun, keduanya jelas tidak akan melakukan itu tanpa perintah.

Mendapati bahwa Kenanga dari keluarga Lazuardi sendiri yang turun tangan meminta ia bekerja sama dengan pihak Akihara, jelas menunjukkan siapapun yang berada di balik Aiko dan Rey punya pengaruh lebih besar. Namun, pertanyaan yang mengakar dalam pikirannya saat ini adalah apa yang Ratna diam-diam lakukan. Sehingga, ia dapat memperkirakan kesusahan apa yang akan Nana hadapi setelah dijatuhi hukuman murid ke-38 lantas menyiapkan bantuan yang jelas amat membantu Nana saat ini.

Ada peraturan tak tertulis yang berlaku di antara Nana dan temannya yang lain. Apapun yang diminta Ratna maka lakukan dan jangan pernah dipertanyakan. Bahkan peraturan itu berlaku ke pemimpin mereka sendiri yaitu Davin. Meski ia adalah peringkat pertama Jayatri, namun terlihat jelas bagaimana Ratna lebih pintar menyusun rencana sehingga Davin sangat mempercayai sang puan bersikap semaunya. Sayang, kepercayaan itu tercoreng ketika Nana justru mendapatkan hukuman murid ke-38.

Masih segar di ingatan Nana, untuk pertama kalinya ia melihat Davin dan Ratna bertengkar hebat di ruang musik 2 yang menjadi tempat berkumpul mereka saat ini. Kalau tidak ada Nitha saat itu, ia yakin keduanya takkan segan saling memukuli satu sama lain. Jika diingat, Nana tak bisa membayangkan bagaimana jadinya dua orang dengan sabuk hitam bela diri itu benar-benar bertengkar.

Nana sadar bahwa rencana Ratna untuk pertama kalinya tidak berjalan lancar. Perempuan yang memiliki kepercayaan diri itu nampak sama terpukulnya hingga ia selalu menghindar dari Nana. Namun, di hari terakhir Ratna mencegatnya sebelum benar-benar keluar dari Jayatri. Di selasar menuju parkir, Ratna memberikannya hal yang tak pernah disangka akan menjadi tiket kebebasannya. Sebuah salinan buku diari.

"Ah, kita sudah sampai."

Ketika menyerahkan salinan buku diari Ratna, Nana menyadari betul bahwa cepat atau lambat ia akan bertemu dengan seseorang dibalik kebebasannya saat ini. Seseorang yang dikatakan Kenangan mempunyai kuasa kuat hingga mudah baginya menyingkirkan segala 'tikus' yang berkeliaran di sekitar Nana. Itulah kenapa, ia tak menolak ketika Rey dan Aiko memintanya untuk pergi ke suatu tempat.

Tempat yang mereka datangi, adalah sebuah rumah bergaya tradisional di pinggiran kota Kyoto. Berbeda dengan dua penjaga gerbang depan, ada seorang laki-laki yang nampaknya berusia dua puluhan berdiri di ambang gerbang. Kimono yang ia kenakan, berwarna senada dengan yang lain namun ada sebuah pin bergambar merak keemasan tersemat di dada sebelah kanan. Nana sepertinya dapat menerka-nerka kalau orang di depannya jelas mempunyai kedudukan cukup penting jika dibandingkan dengan dua orang penjaga gerbang yang menggunakan pin dari perunggu.

"Kalian melupakan pin."

Kalimat itu membuat Rey dan Aiko tersentak, bersamaan melirik bagian dada kanan mereka yang memang tak tersemat apa-apa. Aiko mengeluarkan dua buah kotak dari dalam tasnya lantas memberikan salah satu ke Rey. Mengeluarkan pin serupa, namun di bagian ekor berwarna silver. "Pantas saja mereka berdua melihat kami dengan tatapan tajam."

Nana melirik ke arah dua penjaga gerbang setelah Rey mengatakan kalimat barusan. Ia dapat melihat jelas tatapan tajam yang dilayangkan kepada mereka oleh keduanya telah lenyap. Bergantikan tatapan yang sedikit lebih ramah, walau ekspresi mereka tak banyak berubah.

Mereka lantas diarahkan memasuki kediaman tersebut. Suasana di dalam tak jauh berbeda dari di luar, justru lebih terasa sunyi. Banyak orang yang berlalu lalang, namun suara langkah kaki mereka tidak terdengar sedikitpun. Membuat Nana dapat mendengar suara gemericik air dari miniatur air terjun yang ada di halaman.

Perubahan raut wajah Rey dan Aiko berubah drastis. Jika keduanya sedaritadi mengembangkan senyum ramah dan mengajaknya bicara agar tidak merasa canggung selama perjalanan. Kini keduanya bungkam. Rey yang sejak awal pertemuan terkesan tidak bisa menutup mulut dan selalu punya bahan untuk dibicarakan. Kini nampak tenang dengan tatapan yang terlihat awas pada sekitar. Sementara Aiko tetap mempertahankan senyum tipisnya. Sunyi yang menemani langkah mereka masuk semakin dalam, membuat Nana tak dapat menahan diri untuk tidak memperhatikan segalanya lebih jelas.

Seperti bagaimana Rey, Aiko dan orang yang menyambut mereka tadi berjalan dengan tempo sama sementara Nana kesusahan untuk mengikuti cara ketiganya berjalan. Menyebabkan suara langkah kakinya menjadi satu-satunya yang terdengar saat ini. Mungkin karena itulah, seorang pria mendadak keluar dari salah satu bilik setelah membuka shoji dengan teramat kasar.

"Kenapa berisik sekali?!"

Nana refleks ikut membungkuk, ketika ketiga rekannya membungkuk kepada pria tersebut. Samar-samar tercium bau alkohol dari pria tersebut. Sadar sedang diamati, sang pria menoleh dan bertatapan sepersekian detik dengan Nana. Dalam hati Nana menyumpahi diri sendiri, dan menunduk semakin dalam. Semakin resah ketika pria itu kini berdiri di depannya.

"Kamu mengangkat wajahmu barusan?"

"Maaf-"

"Berapa kali." Kepala Nana di dorong semakin ke bawah. "kubilang." Lagi. "Jangan." Lagi. "pernah". Semakin kasar. "mengangkat-"

Suara tamparan nyaring yang terdengar berikutnya, membuat Nana terkejut bukan main. Bukan hanya dirinya, semua orang yang berlalu lalang di lorong serentak menghentikan kegiatan untuk melihat apa yang terjadi. Ketika Nana menegakkan badan, ia dapati orang yang menyambutnya tadi lah yang melayangkan tamparan. Pria yang bertingkah kasar padanya barusan nampak terkejut dan marah. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga pria mabuk itu berteriak dan mencengkram kerah kimono.

"Pelayan sepertimu berani-"

"Aku yang memintanya." Suara berat itu datang dari belakang mereka, seorang pria dengan kimono berwarna biru gelap berjalan mendekat. Pria mabuk di depannya jelas lebih tua dari pria itu, namun dari aura yang terpancar terlihat sekali siapa yang lebih berkuasa. Pria mabuk itu mendengkus, melepas cengkramannya di leher lantas menunjuk sang pria yang baru tiba dengan penuh amarah.

"Beraninya kamu bertindak tidak sopan pada pamanmu sendiri."

"Paman berlaku kasar pada tamuku. Jadi aku hanya membalasnya." Pria tersebut lantas sedikit menunduk, membisikkan sesuatu tepat di telinga si pria mabuk. Entah apa yang diucapkannya, namun cukup untuk membuat pria itu berdecak kesal dan kembali ke biliknya. Tentu sembari menutup shoji dengan keras, membuat semua orang yang sempat menghentikan kegiatannya kembali bergerak.

"Kalian bisa berhenti." Perintah itu disambut dengan Rey dan Aiko yang berhenti membungkuk. "Kenapa kalian tidak melindunginya?"

"Maaf kak, tapi kamu tau kalau di sini kami tidak punya kuasa apa-apa ketika menghadapi yang satu tadi." Rey menjadi orang pertama yang menjawab, ia lantas menoleh ke arah Nana yang sedang dielus kepalanya oleh Aiko yang tak henti mengucap permintaan maaf. "Nana kamu nggak papa?"

"Kamu seharusnya bertindak sejak dia pertama kali melakukannya, Aoki" Pria itu kini memandang Aoki yang sedang menyemprot tangannya dengan hand sanitizer seolah baru saja memegang sesuatu yang menjijikan.

"Selama anda belum benar-benar menjadi pemimpin utama, saya tidak bisa bertingkah semaunya. Setidaknya saya baru bisa bertindak di hitungan ketiga," balas Aoki tenang membalas dengan bahasa Indonesia yang sama fasih. Sukses membuat Nana jadi melirik pria itu penuh tanda tanya.

"Dia Juan Akihara." Tanpa aba-aba, Aiko memperkenalkan Nana kepada sosok tinggi yang menyita perhatiannya sejak tadi. Pria bernama Juan itu tersenyum semakin lebar, jenis senyuman yang tulus dan terasa hangat. "Dia yang ingin bertemu denganmu."

"Selamat datang Nana. Aku punya banyak sekali hal yang harus kita bicarakan, apa kamu suka teh hijau?"

Tawaran yang disampaikan dengan ramah itu, justru membuat bulu kuduk Nana merinding. Sebab ia menyadari, bahwa ada banyak sekali pasang mata yang diam-diam melirik kepada mereka saat ini.

TBC

Hukuman Murid Ke 38Kde žijí příběhy. Začni objevovat