Dua Puluh Lima: Tabir Kebenaran

70 23 0
                                    

Sejak kakaknya tiada, kehangatan di rumah Farhan perlahan menghilang.

Orang tuanya memang selalu tersenyum di depannya, namun setiap dinding rumah tau ada tangis yang disuarakan diam-diam. Ayahnya semakin sibuk di kantor, membuatnya kini memegang posisi cukup tinggi di sana. Sementara ibunya, tidak pernah betah di rumah selama Farhan tak ada. Memilih menyibukkan diri dengan usaha toko roti dan coffee shop. Kebersamaan mereka sesungguhnya hanya sebuah topeng akan kekecewaan dan rasa amarah yang mengendap.

Seperti hari ini. Farhan pulang lebih larut dari biasanya. Rapat baru selesai pukul 9 malam, dan yang menyambutnya hanyalah rumah tingkat 2 yang lampunya dinyalakan bagian depan. Ketika lampu ruang tengah dinyalakan, Farhan langsung disambut sebuah foto keluarga berukuran besar yang dipajang dekat televisi. Sebuah foto yang diambil di hari pertama sang kakak diterima di sekolah paling bergengsi pada saat itu. Siapa sangka, 2 tahun setelahnya ia justru tiada di dalamnya.

Alih-alih ke kamar, Farhan mendudukan diri di sofa tunggal yang menghadap langsung foto keluarga. Menatap lambat-lambat dirinya yang duduk di tengah diapit kedua orang tuanya, sementara Erika berdiri di belakang dengan senyuman lebar, serta tangan yang terjulur merangkul ketiga anggota keluarganya penuh sayang.

"Loh kamu sudah pulang, Nak?"

Pandangan Farhan teralih ke asal suara. Mendapati sang ayah yang baru saja memasuki rumah, dengan sebelah tangan menenteng jasnya. Di belakang beliau, ada sang ibu yang seketika tersenyum cerah sembari mengangkat sebuah kotak kecil di tangan. "Kebetulan ibu bawain kue red velvet. Kita makan sama-sama ya?"

Bahkan jika nada ceria itu hanyalah sebuah kepura-puraan, Farhan akan berlagak tidak tau. Ia beranjak dari duduk lantas berlari kecil menyusul sang ibu ke dapur layaknya anak kecil yang tak sabar menikmati kue. Tak lupa sebuah usapan di kepala, sang ayah beri ketika sang putra melewatinya.

"Cuci tangan dulu ya." Sang ibu dengan cekatan mengeluarkan seloyang kue red velvet dari dalam kotak setelah mencuci tangan. Mengambil 3 piring kecil dengan motif bunga berbeda dari dalam laci. Bunga anyelir untuk sang ibu, bunga lili untuk sang ayah, dan bunga krisan untuk Farhan. Sementara punya sang kakak adalah bunga matahari. Piring milik Erika hanya keluar dari dalam lemari setahun 2 kali, untuk dicuci dan dirawat dengan baik oleh sang ibu. Sebab piring-piring itu adalah pemberian terakhir sang kakak untuk mereka bertiga.

"Adek mau minum apa?"

Sang ayah muncul setelah meletakkan tas kerjanya di kamar sembari menggulung kemeja hingga siku, mulai membuka lemari mencari minuman hangat apa yang cocok sebagai teman kudapan mereka. Matanya menyusuri deretan teh berbagai varian yang disimpan sang istri, sebelum menoleh ke arah Farhan. Menuntut jawaban.

"Bikin teh celup aja Yah, nggak usah yang repot."

Jawaban itu memancing tawa keluar dari mulut sang ayah. Di rumah ini hanya Farhan yang tak begitu maniak akan jenis teh. Baik kakak dan kedua orang tuanya menyukai minuman tersebut. Tak heran di dapur ada satu laci khusus dengan berbagai jenis teh yang siap dinikmati. Lucunya ada satu kotak teh celup yang terselip di antara deretan daun teh, sebagai permintaan Farhan yang tak mengerti apapun tentang jenis teh dan tak mau repot menyeduhnya kalau-kalau ia sedang ingin.

Hanya butuh waktu beberapa menit hingga secangkir teh hangat dan sepotong kue red velvet tersaji di hadapan Farhan. Dengan wajah penuh suka cita, sang pemuda melahap kue dengan senyum yang tak berhenti terkembang. Memancing senyum yang sama muncul di wajah kedua orangtuanya yang merasa senang melihat sang anak lahap memakan kue. Namun, suasana hangat itu berubah menjadi mencengkam kala sang pusat perhatian melayangkan pertanyaan yang tak pernah diduga.

"Kak Erika meninggal bukan karena jatuh dari gedung ya?"

Rasa manis kue yang semula tercecap, kini terasa pahit. Baik ayah maupun ibu Farhan sama-sama bungkam, memilih menatap kue di depan mereka yang kini terlihat lebih menarik. Gelagat itu cukup untuk membuat Farhan menghela napas teramat berat. "Ayah sama Ibu, sembunyiin apa dari aku?"

Hukuman Murid Ke 38जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें