1| Cita-cita

131 6 0
                                    

"Memiliki cita-cita merupakan suatu hal yang tak kalah penting juga, agar kehidupan kita memiliki arah tujuan yang jelas."

***

Seorang gadis memasuki pintu kayu dengan dekorasi rumah sederhana, dinding batu-bata, dan atap coklat yang sudah mulai menghitam sebab terik mentari.

Duduk merebahkan diri di alas tikar. Masih memakai seragam toga wisuda, merasa penat sehabis acara perpisahan di sekolah. Ya, dialah Anggun. Seorang gadis remaja yang baru lulus dari bangku SMA. Sebuah perjalanan kehidupannya kini akan segera dimulai.

Kehidupannya akan semakin rumit ketika menginjak masa dewasa. Masa dimana ia mencari jati diri yang sesungguhnya. Itulah yang dikatakan orang-orang mengenai masa remaja sampai dewasa.

"Ya sekali-kali kamu itu nyenengin orang tua. Sekali dapat prestasi di sekolah aja nggak pernah, Nduk," ucap Emak Darmi, Emaknya Anggun.

Anggun tinggal di salah satu desa di wilayah Jawa Timur. Tempat yang masih asri dengan suasana sawah dan rindangnya pepohonan. Suatu wilayah yang dinamakan Bojonegoro.

Entah mengapa ia merasa risih dengan perkataan Emaknya itu. Memang sih, dari ia SD sampai lulus SMA hari ini, tak sekalipun ia mendapatkan prestasi. Tak sekalipun pernah membanggakan orang tua dengan prestasi sederhana.

Padahal tidak sedikit temannya Anggun berkata kalau sebenarnya Anggun ini pandai, hanya saja ia itu pemalas. Paling depan kalau soal hafal-menghafal, namun juga begitu, ia pemalas soal belajar.

Sudah sering Anggun mendapati perkataan Emaknya seperti itu, namun tak ia acuhkan. Entah mengapa kali ini berbeda. Seolah ada hidayah yang memasuki relung hatinya. Entah itu sebab ia telah capek mendengar tuntutan orang tua, entah ia memang mulai dewasa. Yang jelas suatu keinginan tak terduga terlontar dari mulutnya.

"Mak, aku mau mondok!" ucap Anggun tiba-tiba.

"Mondok?" Emak pun sedikit kaget.

"Aku mau menghafal Qur'an, Mak," sambung Anggun.

Terlihat dari wajah sang emak tampak gelisah. Entah apa yang dipikirkan Beliau. Anggun pun tak habis pikir. Ia kira emaknya akan bahagia setelah mendengar kalimat itu. Bukankah hal demikian adalah suatu hal yang sangat bagus?

"Jangan menghafalkan Qur'an!" ucap Emak sedikit tegas. Mendengar itu Anggun pun terkejut. Jelas hatinya melontarkan kata tanya ' mengapa?'

"Kamu tahu Mbak Asih? Gadis remaja di RT sebelah jadi gila? Kenapa?" Emak melontarkan berbagai pertanyaan yang tak diketahui jawabannya oleh Anggun.

"Itu karena dia menghafal Qur'an. Dia nggak kuat terus jadi gila. Apa kamu mau seperti itu?"

Anggun merasa aneh dan janggal. Ia berpikir, kok bisa menghafalkan Qur'an membuat orang menjadi gila? Jika benar demikian, mengapa di luar sana banyak para remaja pria wanita, anak-anak, bahkan orang tua pun juga ada yang berhasil menyimpan Kalam Ilahi di hati mereka tanpa menjadi gila.

Jika memang menghafal Qur'an membuat orang menjadi gila, mengapa para sahabat banyak yang meniti jalan tersebut sehingga Rasulullah pun menyanjung mereka dengan bangga. Mengapa ada banyak hadits yang menceritakan keutamaan penghafal al-Qur'an? Sebuah hadits yang menjanjikan berbagai iming-iming kemuliaan kelak di akhirat.

Dalam hati, Anggun menentang pemikiran tersebut. Sebuah pemikiran kuno yang masih menjamur di kalangan pedesaan hanya karena suatu peristiwa.

"Katanya Emak mau anaknya meraih prestasi? Giliran udah nekat malah dikendorin," gerutu sang anak.

"Selain itu kamu kan tahu sendiri. Penghasilan Emak ini pas-pasan, Nduk. Bapakmu sudah pergi duluan. Adik-adikmu juga masih kecil. Kamu satu-satunya yang Emak harapkan sebagai anak sulung."

Keluhan Emak Darmi membuat semangat Anggun seketika down. Apa yang dikatakan emaknya ada benarnya juga. Ia adalah anak pertama. Seperti umumnya bahwa anak pertama adalah tumpuan harapan bagi adik-adiknya. Akhirnya Anggun menjadi bingung hendak melangkah.

Mujahid 30 Juz [TERBIT]Where stories live. Discover now