3| Sebuah Motivasi

57 3 0
                                    

"Dari sekian banyak hamba-Nya, bersyukurlah jika kamu terpilih menjadi penjaga Kalamullah. Percayalah bahwa kamu istimewa di hadapan Allah."

***

"Santri baru ya Mbak?"

Waktu itu, usai sholat isya'. Anggun tampak memegang mushaf kecilnya guna mulai membaca al-Qur'an. Tiba-tiba, seorang santri menghampirinya dan menanyakan hal demikian. Anggun pun menutup mushafnya.

"Hehe, iya Mbak."

"Namanya siapa Mbak?" tanyanya lagi.

"Anggun. Aku baru saja lulus SMA kemarin. Ingin ngafalin Qur'an di sini." Anggun sedikit membocorkan identitasnya.

"Kalau Mbak sendiri?" tanya Anggun.

"Aku udah lama di sini. Namaku Sa'idah," jawabnya sambil mengulas senyum.

"Oh Mbak Sa'idah. Salam kenal Mbak."

"Iya. Em, ayo kita setoran!" ajak Sa'idah.

"Setoran apa?"

"Setoran al-Qur'an lah. Apa lagi memang?  Jadi, sehabis sholat isya' itu kita setoran hafalan di Ustadzah Ima, nama Ustadzahnya."  Saidah memberi tahu.

"Oh gitu. Hehe, tapi aku belum punya hafalan Mbak," keluh Anggun.

"Udah nggak apa-apa. Ayo ikut!" ajaknya.

Anggun mengemasi mukena. Menggantinya dengan jilbab. Kemudian mengikuti langkah Sa'idah. Jalan setapak mereka lewati hingga sampai di sebuah ruangan. Di sana telah berkumpul para santri putri yang sepertinya juga tengah meniti hafalan seperti dirinya.

Ketika Anggun datang dan duduk, semua pupil terpanah padanya. Ia sedikit minder. Mungkin mereka menatap seperti itu sebab dirinya adalah santri baru.

"Mbak Saidah, mereka kenapa sih? Kok pada ngeliatin aku?" bisik Anggun pada Sa'idah yang duduk di sampingnya.

"Mungkin karena kamu baru. Nggak apa-apa, mereka baik-baik kok," tenangnya.

Sejenak, Anggun menatap suasana di sekelilingnya. Ia melihat, begitu serius dan semangat ketika para santri  menyiapkan hafalan. Ia begitu salut dan tercengang. Pemandangan seperti ini baru ditemuinya ketika di pesantren. Hatinya terasa damai. Namun di lain sisi, ia merasa minder. Apakah ia mampu menghafal kitab ini yang begitu tebalnya? Pasti tidak mudah.

Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki tengah mendekat ke ruangan tersebut.

"Rawuh, rawuh. Ustadzah Ima rawuh!"

Tiba-tiba saja seisi ruangan tampak sedikit gaduh. Mengatakan kalau  Ustadzah Ima telah datang, dalam bahasa Jawa. Sempat Anggun berpikir, mengapa mereka gugup seperti itu? Semenegangkan inikah menghafal al-Qur'an? Sehingga membuat mereka terlihat gugup. Anggun tak tahu sebab belum merasakannya.

Ketika langkah tersebut telah menampakkan sosoknya, Anggun begitu tercengang dengan kecantikan dan aura yang terpancar dari Ustadzah Ima.

"Aku aja terpesona. Apalagi kaum Adam?" gumamnya pelan.

"Hehe, kamu benar Nggun. Ustadzah Ima memang kembang pesantren kalau di sini. Banyak kang-kang bahkan ada Gus juga yang melirik Beliau. Beliau udah waktunya nikah tapi sama Abah Yai tidak diizinkan nikah dahulu. Disuruh membantu menyimak hafalan para anak tahfiz," bisik Sa'idah menanggapi ucapan Anggun.

Mendengar itu Anggun termanggut. Ustadzah Ima pun duduk di tengah-tengah mereka kemudian mengucapkan salam. Ketika sudut matanya terhenti pada Anggun, Beliau pun bertanya,

"Santri baru Mbak?"

"Nggeh Ustadzah," jawab Anggun.

"Namanya siapa?"

"Anggun, Ust. Asal dari kota Bojonegoro."

"Oh. Selamat bergabung Anggun! Semoga bisa istiqomah hingga khatam ya!" Beliau mendoakan.

"Amin."

"Udah punya hafalan?" tanya Beliau lagi.

Pertanyaan yang satu ini benar-benar membuat Anggun tak mampu membuka mulut. Ia menunduk, mungkin karena merasa malu dengan yang lainnya. Beberapa detik kemudian, karena dirasa tak mendapat jawaban dari Anggun, Ustadzah Ima pun melontarkan senyuman dengan sedikit suara.

"Anggun, nggak usah minder kalau belum punya hafalan. Semua teman-teman di sini pernah berada pada fase seperti kamu kok. Bener nggak adik-adik?" Beliau tampak memberi motivasi kepada Anggun. Seolah mengerti sebab raut wajahnya yang tampak kusut.

"Hm, iya benar Nggun." Sa'idah menimpali.

"Sekarang Ustadzah mau tanya, kira-kira Anggun ini mau menghafal atas keinginan sendiri atau orang tua?" tanya Ustadzah Ima. Ketika melihat wajah para peserta didiknya, beliau tersadar sesuatu.

"Oh ya, hehe. Mumpung ada teman baru, setorannya kita ganti besok pagi aja ya. Hitung-hitung buat kasih semangat Mbak Anggun ini." Beliau menginformasikan.

"Iya Ust. Nggak apa-apa. Lagian kita semua banyak yang belum siap setor," ucap salah seorang santri sambil tersenyum. Mungkin merasa lega sebab belum ada yang dapat ia setorkan.

Ustadzah Ima pun balas tersenyum. Telah terbiasa menghadapi anak didiknya seperti itu. Terkadang semangat, terkadang down. Terkadang butuh ditegasi, terkadang butuh diajak bercanda. Ya, memang perjuangan menghafal al-Qur'an tidaklah mudah. Butuh kesabaran dan Istiqomah.

"Emm... keinginan sendiri sih, tapi kurang mantap juga. Masih butuh dikasih banyak motivasi Ust. Emak aku juga soalnya nggak dukung. Katanya takut aku jadi gila sebab tak kuat hafalan," curhatnya.

Mendengar itu, Ustadzah Ima tercengang. Ternyata masih ada juga orang tua yang berpikiran kuno seperti itu. Dan pemikiran seperti itu mestinya harus segera diringkus.

"Nggak ada seperti itu, Dek. Mana ada menghafal al-Qur'an buat orang jadi gila. Kalau memang begitu, kenapa di luar sana banyak para penghafal tapi tidak gila?" Beliau meyakinkan.

"Kalau pun ada yang kejadian, pasti karena dia ada masalah lain di hidupnya. Al-Qur'an itu nggak bakal mau di duakan. Sekali kamu menduakannya, dia pasti akan kabur."

"Menghafal Qur'an itu Jihad, Dek. Ingatlah perjuangan para sahabat Nabi di zaman dulu! Banyak para pejuang yang huffadz, gugur pada perang Yamamah. Ingatlah perjuangan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam mengumpulkan ayat-ayat yang berserakan. Ingatlah perjuangan Zaid bin Tsabit dalam mencatat ayat-ayat yang masih tak tentu arah. Ingatlah perjuangan Utsman bin Affan dalam menggabungkan lembaran demi lembaran menjadi mushaf!" Ustadzah Ima tampak meresapi ketika bercerita.

"Mereka semua para pejuang al-Qur'an sehingga bisa sampai kepada kita, yang kita baca setiap hari. Entah apa jadinya kita tanpa sebuah petunjuk. Mereka semua berjuang sampai titik darah penghabisan. Sedangkan kita? Apa yang bisa kita lakukan untuk agama ini? Sungguh jika kalian tahu betapa mulianya para penghafal di sisi Allah. Tugas kita hanya menjaganya. Menghafal al-Qur'an adalah salah satunya. Di zaman ini, kita berjuang tidak perlu menggunakan pedang, panah, kuda, dll. Kita hanya perlu berjuang menjaga agama ini di atas ridlo-Nya. Salah satunya dengan menghafal Qur'an. Bersyukurlah wahai Mujahid 30 juz! Karena Allah telah memilih kalian dari sekian banyak hamba-Nya."

Begitu mendalam pidato Beliau. Semua santri juga tampak meresapi setiap perkataan dari sang motivator kala itu. Ada beberapa yang menitikkan air mata sebab haru. Salah satunya adalah Anggun. Ia begitu tersentuh sehingga mengeluarkan air mata. Kini niatnya untuk menghafal semakin mantap. Semangatnya juga menjadi menggebu. Seperti baterai yang telah diisi full dan siap digunakan kapan waktu.

Anggun benar-benar ingin segera memulai hafalannya. Semangatnya telah membara dan begitu percaya diri. Namun ia tak tahu bahwa perasaan tersebut begitu sangat mudah dan akan segera hilang. Karena menghafal al-Qur'an tidaklah semudah itu. Kedepannya pasti ada badai ujian yang siap menantinya setiap waktu.

Mujahid 30 Juz [TERBIT]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin