34

501 56 9
                                    

Satu hari sebelum persidangan ....

Dojo, tempat pelatihan berbagai macam beladiri itu berdiri dengan arsitektur tradisional. Di aula, terdapat kamiza atau mimbar yang diletakkan sebuah foto usang seorang pendirinya, tak lupa nama dojo dalam bentuk kaligrafi juga ditempel di samping foto tersebut.

Mungkin, sekitar dua puluh anak membuat barisan di depan mimbar, membungkuk penuh hormat ke arah kamiza sebelum memulai latihan. Mereka memakai baju karate, sabuk yang warnanya berbeda melingkar di pinggang,  menunjukkan tingkat ilmu beladiri mereka.

Di samping aula, dekat pintu geser yang dibiarkan terbuka agar angin bisa sedikit menyegarkan ruangan, sebuah futon dihamparkan. Di atasnya seorang laki-laki memejamkan mata, peluh sebesar biji jagung mengucur di dahi dan jatuh ke bantal.

Teriakan semangat dari para karateka terdengar menggelegar, mengusik tidurnya. Dia membuka mata dengan pelan, merasa sensitif dengan cahaya matahari yang langsung menerobos masuk ke matanya. Megumi menghalangi mata dengan tangan, kemudian menegakkan badan.

Laki-laki itu seketika merasakan pegal di sekujur badan. Rambutnya yang mencuat berantakan luar biasa, seperti tidak disisir beberapa hari. Decit kaki bertemu lantai kayu menjadi pusat perhatiannya. Megumi menangkap beberapa orang tengah mempraktekkan gerakan karate dengan semangat.

"Sudah bangun?" Suara berat itu sukses membuatnya terkejut. Pria berbadan kekar dengan rambut hitam tengah mengusap tengkuk, tersenyum kikuk kepada Megumi. "Jangan terkejut begitu, aku ini ayahmu, Megumi."

Megumi sempurna membulatkan mata. Di depannya berdiri pembunuh bayaran yang pernah membuat gemetar seluruh pelosok Jepang. Tidak lain dan tidak bukan, ayahnya.

"Kenapa kau di sini?"

Bukannya senang, Megumi justru merasa marah dan benci. Dia palingkan pandangan, menunduk. Seolah melihat sesuatu yang menjijikkan hingga membuatnya ingin memuntahkan isi perut. Toji tetap tersenyum, dia sudah menyiapkan diri jika anak bungsunya ini tidak senang akan kehadirannya.

"Bukankah kau sudah mati?" cerca Megumi dengan suara pelan, pundaknya bergetar.

Garis bibir yang tertekuk ke atas itu menurun. Obrolan ringan sepertinya tidak cukup untuk bercengkrama dengan Megumi. Hening menyergap. Sambil menghela napas berat, Toji duduk di hadapannya. Meraih salah-satu tangan Megumi yang melintang luka gores kecil.

"Jika kau keberatan aku masih hidup, tak lama lagi aku akan pergi," katanya tenang, merogoh saku celana hitam kebesarannya, mengeluarkan plaster tipis bermotif kupu-kupu. Luka kecil itu ditutupi plaster. "Aku hanya ingin pamit."

Mungkin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mungkin ... mungkin saat itu Megumi sedang dikendalikan perasaannya. Dia menerima Toji, mengobrol banyak. Terkadang bertanya tentang kejelasan mengapa Toji tega meninggalkannya, mengapa ayahnya memilih menjadi pembunuh, dan mengapa ini, mengapa itu lainnya.

Forever [Nanami Kento]Where stories live. Discover now