13

617 67 13
                                    

Lampu kristal yang menggantung, gaya rumah yang antik, karpet merah berbulu di bawah kaki, matanya tak henti ke sana-kemari. Pria dengan setelan hitam pemilik rumah itu berdiri di puncak tangga, melihat kedatangan sang tamu.

"Kamu datang juga, Frans."

Frans mendongak, melempar senyum miring. "Malam, Teman."

Tangga dituruni, pria itu bersenandung riang. Seolah dunia selalu baik kepadanya dan tak pernah mengalami hari-hari buruk. Berdiri di hadapan Frans, membungkukkan badan. Senyum masih tidak luntur, orang yang baru melihatnya pasti menyangka dia ini orang normal, tapi matanya membohongi hal itu.

Matanya penuh kekejaman.

"Bagaimana? Rencana lancar?"

"Lancar. Terima kasih, bantuanmu sangat berguna," ucap Frans ikut membungkukkan badan. "tapi, sayangnya, mereka belum terpancing."

Senyum mulai luntur, pria itu merangkul Frans, tertawa manis sehingga matanya menyipit.

"Tenanglah, nanti juga mereka terpancing. Terus mainkan peranmu. Aku menantikan tanggal mainnya."

Frans anggukkan kepala bak babu yang setia pada majikan. Pria berwajah preman itu langsung teringat sesuatu.

"Foto itu hilang. Sepertinya tertiup angin."

"Foto apa?"

"Wanita itu."

Senyum pria ini semakin saja lebar. "Tidak apa-apa. Aku sudah ingat penampakannya, kok."

"Tapi, kenapa Anda mengejarnya?"

Dia memberi isyarat diam. Matanya menusuk tajam, senyumnya menjadi seringai penuh kelicikan. Frans tidak mengerti, pria ini aneh, bahkan Frans sempat menganggapnya abnormal kali pertama bertemu. Namun, mau tak mau dia harus mengakui juga pria ini sudah membantunya melaksanakan tugasnya.

Frans tidak bertanya lebih kendati benak disesaki pertanyaan. Dia tahu, pria di hadapannya ini tidak mau berbagi rahasia.

"Apapun itu," ucap Frans. "aku berhutang budi padamu karena sudah membantuku, mulai dari perlengkapan senjata api, sampai menghasut geng motor itu untuk menjadi budakku."

"Yah, yah. Sebagai sesama manusia kita harus saling membantu, bukan?"

"Berkatmu juga, aku bisa menjalankan tugas yang Toji berikan padaku malam itu." Frans memutar benak, teringat dulu, malam pengeboman tempat tahanan.

Toji yang masih memiliki dendam terhadap Hatsuno, dia bantu dengan mengumpulkan pendukung pria itu, membeli bom di pasar terlarang untuk membebaskannya dan memenuhi dendam pribadinya. Karena itu, Toji bisa menyusul Hatsuno yang baru keluar dengan mobil dari pekarangan tempat persidangan.

Tanpa ancang-ancang, badan kekarnya itu langsung melompat ke atas mobil. Membuat Ray yang menyetir, langsung banting setir, apalagi dia langsung sadar, Toji berhasil kabur dari penjara. Toji beberapa kali memukul-mukul kaca, berusaha memukul kepala Ray. Ray yang tahu kondisinya terpojok, membawa Toji yang masih berusaha memecahkan kaca mobil, ke suatu tempat di daerah Tokyo.

Frans menghela napas, dia saat itu ikut dengan Toji, karena dia sendiri yang mengantarkan tuannya ke sana. Frans ingat dialog mereka di malam hari, di samping arus sungai yang deras, di bawah rembulan yang bersinar lembut.

"Sialan, kenapa kau bisa lolos?!" Begitu keluar dari mobil, Ray langsung menghardik.

"Otakmu sempit, penjara seperti itu bisa dibobol dengan mudah." Toji mengangkat pedang. Ray tersentak, dia hanya membawa pistol dengan tiga peluru. Frans menyaksikan. "Hakim tidak percaya bahwa kau yang membunuh anakku, padahal nyatanya, kaulah pembunuhnya, Ray."

Forever [Nanami Kento]Where stories live. Discover now