2. Ucapan Selamat

278 35 4
                                    

2. Ucapan Selamat













Pemberitaan mengenai bebasnya anak presiden yang sempat ramai di jagat maya seketika lenyap tak bersisa. Tentu semua itu tidak lepas dari kekuasaan Handoko Prabaswara --selaku ayah Keano. Dan jujur, Melody sempat waswas kalau-kalau Nancy membaca berita tersebut lalu mencecarnya dengan beragam pertanyaan. Bahkan keterkejutannya terkait reaksi Nancy saat dihujat tadi saja belum hilang. Ia benar-benar tak menyangka putrinya akan sebrutal itu.

Membuang napas lega, kakinya diayun menuju kamar. Didorongnya pintu dari luar dan pemandangan yang selama tiga belas tahun ini hilang, nampak lagi. Keano baru saja menutup lemari setelah membalut tubuh atletisnya dengan kaos oblong yang dipadu dengan celana pendek--outfit andalan pria itu ketika berada di rumah. Kadang kalau keluar --entah makan di warung pinggir jalan atau menemaninya pangkas rambut, Keano juga mengenakan outfit tersebut. Keano memang tipe manusia paling santuy yang masa bodoh dengan penampilan. Untung saja tertolong dengan wajah tampannya. Walaupun kadang-kadang Melody suka ngomel.

"Makan dulu, Mas," ajak Melody. "Yang lainnya udah pada nunggu."

Padahal ini rumah orang tua Keano, tapi yang merasakan canggung justru pria itu. Ingin keluar kamar untuk mengambil minum atau sekadar berinteraksi dengan orang rumah, rasanya seperti sungkan. Kebalikan dengan Melody yang malah terlihat seakan-akan dia lah putri presiden, yang mau apa-apa tidak perlu merasa sungkan dan canggung.

"Mmm ..." Keano tampak ragu.

Segera Melody mendekat, berhenti di samping Keano. Ia sentuh lengan suaminya. "Mas, sekarang Mas udah pulang. Dan di sini ada banyak hal yang perlu Mas pahami karena situasinya nggak lagi sama. Misal, peran baru Mas sebagai ayah." Jeda sejenak, napasnya dihela panjang dan dibuang perlahan. "Nancy yang Mas dengar dari cerita-ceritaku tiap berkunjung, hanya sebagian dari sosok Nancy yang sebenarnya. Kenapa? Karena aku mau Mas kenal anak Mas sendiri, bukan dari cerita-ceritaku atau cerita Mami dan Daddy."

"Kalau seandainya Mas dihukum seumur hidup, apa kamu akan tetap bertahan?"

Melody mengerjap tenang, bibirnya menukikkan senyum. "Waktu Mas datang untuk minta aku jadi istri Mas, papaku bilang; kamu sudah dipilih Keano untuk jadi teman hidupnya, maka sesulit apa pun kondisi rumah tanggamu nanti, selama tidak ada kekerasan dan perselingkuhan, jangan tinggalkan suamimu. Apalagi setelah Nancy lahir ..." Rehat, kelopak matanya terpejam sesaat kala mengenang mendiang ayahnya yang meninggal empat tahun lalu. "Papa selalu mewanti-wanti aku supaya tetap sama Mas. Bukan karena Mas anak presiden, tapi seperti yang aku bilang tadi, Mas. Aku bisa menikah lagi, tapi Nancy nggak mungkin punya ayah lagi karena ayahnya Nancy cuma Mas."

"Tapi status Mas nggak cuma anak presiden, Mel. Orang-orang yang tahu kasus Mas bakal anggap Mas pembunuh," tandas Keano. Ada emosi yang sengaja pria itu tahan. "Kamu siap dicap sebagai istri pembunuh? Nancy aja marah waktu dihujat begitu."

Melody membingkai wajah tampan Keano, ditatapnya pria itu dengan gurat serius. "Mas pembunuh nggak? Yang ngelakuin itu tiga belas tahun lalu Mas atau bukan?" cecarnya, direspons gelengan Keano. "Biarin aja orang mau ngomong apa, Mas. Aku udah jalan sampai ke titik ini karena aku sayang sama Mas dan juga Nancy butuh Mas. Jadi, tolong jangan merendahkan diri karena satu kesalahan. Bahkan kesalahan yang nggak Mas perbuat."

"Mel," gumam Keano, menatap manik mata Melody. "Kamu itu terlalu sempurna buat Mas."

"Kalau aku nggak sempurna, mana mungkin anak pejabat yang dulu diidolakan banyak cewek ini milih perempuan berantakan kayak aku," seloroh Melody, terkekeh sumbang. Ia sentuh dagu Keano dan diusap perlahan. Rasanya kasar sekali, seperti omongan netizen. "Ini perlu dicukur, Mas," katanya. "Mas kalau gini mirip penculik-penculik di sinetron, tahu. Dan kayaknya tadi Nancy shock karena ayahnya mirip penculik deh."

Break EvenΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα