Chapter 15: Lanjutan

522 79 4
                                    


"Yang berjuang sering kali tidak terlihat. Namun percayalah, tak ada perjuangan yang berakhir sia-sia."

***

Heksa bisa pulang ke rumah dengan perasaan lega. Pasalnya, papa Pijar datang ke rumah sakit dan bersedia menemani putrinya selama menjalani perawatan di sana. Aman, pikir Heksa. Karena sahabatnya, si Andre, tidak akan berani main tikung. Pijar ada pawangnya. Mana pawangnya galak!

Sesampainya di rumah, Heksa mampir ke kamar papanya yang sudah tertutup rapat. Ia berhati-hati membuka pintunya karena orang tuanya sudah tertidur.

"Semoga lekas sembuh, Pa." Heksa mencium kening sang papa, lalu merapatkan selimut mamanya.

Sesampainya di kamar, Heksa merebahkan tubuh di ranjang. Ia mengusap layar ponselnya, lalu membuka kalender untuk mengecek tanggal.

Tanggal lima belas Desember. Itu artinya tinggal dua minggu lagi sebelum berganti bulan dan tahun. Kematian Ginny semakin dekat. Penglihatan Pijar memang tidak bisa merekam tanggal pasti kematian seseorang. Itu berarti jika Heksa ingin menyelamatkan Ginny, selama beberapa hari ia harus mengikuti ke mana pun gadis itu pergi.

Seperti yang dilakukan Pijar selama ini ketika hendak menyelamatkan nyawa orang lain, Pijar harus menjadi penguntit orang-orang di dalam catatannya.

Gila. Ogah banget gue ngikutin Jin Iprit ke mana-mana? Dikira gue nggak ada kerjaan? Cowok famous sejagat raya kayak gue, disuruh ngintilin Jin Iprit? O TO THE GAH. OGAAAH!

Heksa menenggelamkan kepalanya ke bantal. Galau bukan main. Antara bertahan dengan keegoisannya atau menjalankan amanat dari sang kekasih untuk menyelamatkan nyawa Ginny.

***

Sejak pagi Heksa sibuk mondar-mandir. Dari kelasnya ke kelas Ginny. Mencari tempat-tempat aman yang bisa ia gunakan sebagai tempat persembunyian. Heksa yang niatnya masih setengah-setengah untuk menyelamatkan nyawa Ginny, akhirnya kembali ke kelasnya sendiri setelah beberapa detik mengintai gadis itu.

Ya, belum ada semenit Heksa sudah tidak betah.

Teman-teman sekelas Ginny yang melihat Heksa di sana, terus memanggil-manggil namanya. Maka, sebelum tertangkap basah, Heksa sudah kabur duluan.

Mumpung lagi istirahat dan kelas sepi, ia memutuskan untuk menelepon Pijar.

"Heh, Zom!"

Tidak butuh waktu lama, Pijar mengangkat panggilan video itu.

"Hape-nya geserin dikit. Gue berasa ngobrol sama rambut, Zom."

Pantas saja layar hape Heksa dipenuhi warna hitam. Posisi kamera Pijar malah mengarah ke rambut.

"Aduh, susah, Sa. Ini aja alhamdulillah bisa keangkat teleponnya. Gue asal ngusap-ngusap layarnya."

Heksa makin emosi. "Ya udah, minta tolong temen lo aja kayak kemarin!" ceplosnya. Namun, beberapa detik kemudian, Heksa langsung menepuk-nepuk pelan mulutnya sendiri. "Nggak jadi ... nggak jadi. Gue tarik omongan gue."

Seperti biasa. Heksa nyerocos panjang lebar, sedangkan Pijar selalu menjadi pendengar setia.

"Gue nggak bisa begini terus. Gue udah nggak tahan."

"Maksudnya? Lo mau minta putus, Sa? Udah nggak tahan sama gue, ya?" tanya Pijar. Suaranya terdengar sendu.

"Bukan gitu, Ogeeeb." Heksa panik sendiri. "Sekarang gue tanya. Gimana caranya gue tahu si Jin Iprit ini bakal is dead dengan cara apa?"

"Jin Iprit?"

"Ginny, Zom! Ginny! Maksud gue si Jin Iprit itu, ya, Ginny! Lo kalau lemot lihat situasi, dong. Makin naik darah ini, gue!"

Pijar diam sejenak.

"Heh, malah jadi patung!" sentak Heksa tak sabar.

"Nggak bisa, Sa. Waktu Ginny ulang tahun, gue belum sempat salaman sama dia. Jadi, gue nggak lihat gimana proses kematiannya."

Mendengar itu, Heksa langsung lemas. Kepalanya merosot ke meja. "Kalau gini ceritanya, gue yang bakal is dead duluan."

"Dicariin ke mana-mana. Ternyata, lo lagi mojok di sini, Sa?"

Suara Willy menyapa dari atas kepala Heksa. Ia mendongak dan menemukan kedua sahabatnya berdiri di samping mejanya.

"Jomlo nggak diajak," Heksa menyahut nyolot.

"Sombong amat lo! Lagian, gue mau nyapa Pi ... ASTAGFIRULLAH!" Willy terjingkat begitu melihat layar hape Heksa. Seram sekali.

"Apa sih, Will. Lebay lo." Andre mendorong Willy agar sedikit bergeser. "Pijar tetep cantik, kok. Meski kelihatan rambutnya, doang."

Heksa melebarkan matanya. Sudah sangat maksimal. Namun, tetap aja masih kelihatan sipit.

"Ya udah, Zom. Ntar sambung lagi. Para pengganggu datang. Males gueee."

Sebelum Pijar mengiyakan, Heksa sudah menutup sambungan teleponnya. Memang akhlak eobso si sableng.

"Sa, lo mau ke mana, barusan bel masuk, noh." Willy yang melihat sahabatnya hendak ke luar kelas, langsung menahannya. Kali aja Heksa pikun. Dikira bel istirahat, padahal bel masuk.

"Gue ada urusan bentar."

"Ke kelas Ginny?" sahut Andre yang sontak membuat dua sahabatnya menoleh bersamaan.

"Biarin takdirnya bekerja sendiri, Sa. Nggak usah ikut campur." Andre memperingati dengan suara lembut. "Lo duduk tenang aja dan lihat takdir itu bekerja sendiri."

"Oh, jadi lo lagi jalanin misi dari Pijar?" tebak Willy. Tumben pinter. "Ikuttt, Sa. Kayaknya seruuu."

"Kalo gue nggak mau berhenti, lo mau apa, Ndre?" tantang Heksa. Mengabaikan ucapan Willy. "Mau perang lagi? Ayo, ayo aja gue, mah."

Willy belingsatan. Niatnya mau mengalihkan perang dingin dua sahabatnya itu. Namun, ia gagal. Heksa sudah telanjur emosi. Sementara, Andre mungkin sudah lelah selalu menjadi pihak yang mengalah.

"Karena kali ini juga ada sangkut pautnya sama gue, jadi gue nggak bakal tinggal diem." Andre merespons setengah menggumam karena guru baru saja masuk ke kelasnya.

Akan tetapi, ucapan Andre tentu terdengar jelas di telinga Heksa dan Willy. Setelah ketiganya duduk di bangku masing-masing, Heksa termenung sendiri. Ia memang tidak pintar-pintar amat. Namun, ia tahu Andre pasti memiliki rencana. Meski terlihat lemah dan sering mengalah, di antara mereka bertiga, Andre yang paling ambisius. Ketika sudah memiliki keinginan, tak peduli apa pun itu pasti akan benar-benar diperjuangkan.

Sekalipun harus berselisih dengan sahabatnya sendiri? Sangat mungkin terjadi. Dan, Heksa sudah siap menghadapi kemungkinan terburuk itu.

***

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang